BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Salah satu
bentuk sediaan steril adalah injeksi. Injeksi adalah sediaan steril berupa
larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau
disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan yang disuntikkan dengan cara
merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.
Dimasukkan ke dalam tubuh dengan menggunakan alat suntik. Suatu sediaan parenteral harus steril karena
sediaan ini unik yang diinjeksikan atau disuntikkan melalui kulit atau membran
mukosa ke dalam kompartemen tubuh yang paling dalam. Sediaan parenteral
memasuki pertahanan tubuh yang memiliki efesiensi tinggi yaitu kulit dan
membran mukosa sehingga sediaan parenteral harus bebas dari kontaminasi mikroba
dan bahan-bahan beracun dan juga harus memiliki kemurnian yang dapat diterima.
Mata merupakan organ yang peka dan penting dalam kehidupan,
terletak dalam lingkaran bertulang berfungsi untuk member perlindungan maksimal
dan sebagai pertahanan yang baik dan kokoh. Penyakit mata dapat dibagi menjadi
4 yaitu, infeksi mata, iritasi mata, mata memar dan glaucoma. Mata mempunyai
pertahanan terhadap infeksi karena secret mata mengandung enzim lisozim yang
menyebabkan lisis pada bakteri dan dapat membantu mengeleminasi organism dari mata.
Obat mata dikenal terdiri atas beberapa bentuk sediaan dan mempunyai mekanisme
kerja tertentu. Obat mata dibuat khusus. Salah satu sediaan mata adalah obat
tetes mata. Obat tetes mata ini merupakan obat yang berupa larutan atau
suspensi steril yang digunakan secara local pada mata.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud pemberian
obat parental?
2.
Apa tujuan pemberian secara
parental?
3.
Bagaimana cara pemberiaannya?
4.
Apa yang dimaksud dengan
Larutan mata?
1.3
Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari
makalah ini adalah untuk memahami teknik pemberian obat secara injeksi dan
mengetahui cara pembuatan larutan mata.
1.4
Pengertian Larutan Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau
suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu
sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit atau selaput lendir.
Dalam FI ED. IV, sediaan steril untuk kegunaan parenteral
digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda :
1.
Sediaan
berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain yang digunakan untuk
injeksi, ditandai dengan nama, Injeksi................
Dalam FI.ed.III disebut
berupa Larutan. Misalnya :
·
Inj. Vit.C,
pelarutnya aqua pro injection
·
Inj. Camphor
oil , pelarutnya Olea neutralisata ad injection
·
Inj. Luminal,
pelarutnya Sol Petit atau propilenglikol dan air
2.
Sediaan
padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak mengandung dapar,
pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah
penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, ditandai dengan
nama ...................Steril.
Dalam
FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat
pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan larutan yang memenuhi syarat
larutan injeksi.
Misalnya : Inj. Dihydrostreptomycin
Sulfat steril
3.
Sediaan
padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan yang memenuhi
persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan
pembawa yang sesuai, ditandai dengan nama,............ Steril untuk
Suspensi.
Dalam FI.ed.III disebut berupa
zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan
steril, hasilnya merupakan suspensi yang memenuhi syarat suspensi steril.
Misalnya : Inj. Procaine Penicilline G steril untuk suspensi.
4.
Sediaan
berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan
secara intravena atau ke dalam saluran spinal, ditandai dengan nama Suspensi..........
Steril.
Dalam FI.ed.III disebut Suspensi
steril ( zat padat yang telah disuspensikan dalam pembawa yang cocok
dan steril).
Misalnya : Inj. Suspensi Hydrocortisone
Acetat steril.
5.
Sediaan
berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau bahan tambahan
lain, ditandai dengan nama, ............. Untuk Injeksi. Dalam
FI.ed.III disebut bahan obat dalam pembawa cair yang cocok, hasilnya
merupakan emulsi yang memenuhi semua persyaratan emulsi
steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk injeksi.
1.5
Pengertian Larutan Mata
Larutan
obat mata adalah larutan steril, bebas partikel asing, merupakan sediaan yang
dibuat dan dikemas sedemikian rupa sehingga sesuai digunakan pada mata.
Pembuatan larutan obat mata membutuhkan perhatian khusus dalam hal toksisitas
obat, nilai isotonositas, kebutuhan akan dapar, kebutuhan akan pengawet dan
jika perlu pemilihan pengawet dan kemasan yang tepat.
Larutan
cuci mata atau yang lebih dikenal sebagai kolorium adalah larutan steril yang
jernih, bebas partikel asing yang dipakai untuk membersihkan mata. Dapat
ditambahkan zat dapar dan pengawet. Kolorium dibuat dengan melarutkan obat
dalam air, disaring hingga jernih, dimasukan dalam wadah tertutup dan
disterilkan. Alat dan wadah yang digunakan harus bersih dan steril.
Obat
tetes mata (guttae ophthalmicae) adalah sediaan steril berupa larutan atau
suspensi, digunakan untuk mata, dengan cara meneteskan obat pada selaput lendir
mata, disekitar kelopak mata dan bola mata. Dimaksudkan untuk obat dalam atau
obat luar, diteteskan dengan menggunakan penetes yang menghasikan penetes
setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku dalam Farmakope Indonesia.
Obat
tetes mata sering digunakan pada mata, maka obatnya harus stabil secara kimia,
harus mempunyai aktivitas terapi yang optimal, hatus todak mengiritasi dan
tidak menimbulkan rasa sakit pada mata, harus jernih, harus bebas
mikroorganisme yang hidup dan tetap demikian selama penyimpan yang diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Larutan Injeksi
Injeksi
adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus
dilarutkan atau disuspensikan dulu sebelum digunakan, yang disuntikan dengan
cara merobek jaringan kedalam kulit atau selaput lendir.
2.2 Penggolongan Injeksi
Dalam FI ED. IV, sediaan steril untuk kegunaan parenteral
digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda :
1.
Sediaan
berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain yang digunakan untuk
injeksi, ditandai dengan nama, Injeksi................
Dalam FI.ed.III disebut
berupa Larutan. Misalnya :
·
Inj. Vit.C,
pelarutnya aqua pro injection
·
Inj. Camphor
oil , pelarutnya Olea neutralisata ad injection
·
Inj. Luminal,
pelarutnya Sol Petit atau propilenglikol dan air
2.
Sediaan
padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak mengandung dapar,
pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah
penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, ditandai dengan
nama ...................Steril.
Dalam
FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat
pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan larutan yang memenuhi syarat
larutan injeksi.
Misalnya :
Inj. Dihydrostreptomycin Sulfat steril
3.
Sediaan
padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan yang memenuhi
persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan
pembawa yang sesuai, ditandai dengan nama,............ Steril untuk
Suspensi.
Dalam FI.ed.III disebut berupa
zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan
steril, hasilnya merupakan suspensi yang memenuhi syarat suspensi steril.
Misalnya : Inj. Procaine Penicilline G steril untuk suspensi.
4.
Sediaan
berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan
secara intravena atau ke dalam saluran spinal, ditandai dengan nama Suspensi..........
Steril.
Dalam FI.ed.III disebut Suspensi
steril ( zat padat yang telah disuspensikan dalam pembawa yang cocok
dan steril).
Misalnya : Inj. Suspensi Hydrocortisone
Acetat steril.
5.
Sediaan
berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau bahan tambahan
lain, ditandai dengan nama, ............. Untuk Injeksi. Dalam
FI.ed.III disebut bahan obat dalam pembawa cair yang cocok, hasilnya
merupakan emulsi yang memenuhi semua persyaratan emulsi
steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk injeksi.
2.3 Macam-Macam Cara Penyuntikan
1.
Injeksi
intrakutan ( i.k / i.c ) atau intradermal
Dimasukkan ke dalam kulit yang
sebenarnya, digunakan untuk diagnosa. Volume yang disuntikkan
antara 0,1 - 0,2 ml, berupa larutan atau suspensi dalam air.
2. Injeksi subkutan ( s.k / s.c )
atau hipodermik
Disuntikkan ke dalam jaringan di
bawah kulit ke dalam alveolar, volume yang disuntikkan tidak lebih
dari 1 ml. Umumnya larutan bersifat isotonik, pH netral, bersifat depo
(absorpsinya lambat). Dapat diberikan dalam jumlah besar (volume 3 - 4
liter/hari dengan penambahan enzym hialuronidase), bila pasien
tersebut tidak dapat diberikan infus intravena. Cara ini disebut"Hipodermoklisa ".
3. Injeksi intramuskuler ( i.m )
Disuntikkan
ke dalam atau diantara lapisan jaringan / otot. Injeksi dalam bentuk larutan, suspensi
atau emulsi dapat diberikan secara ini. Yang berupa larutan dapat diserap
dengan cepat, yang berupa emulsi atau suspensi diserap lambat dengan maksud
untuk mendapatkan efek yang lama. Volume penyuntikan antra 4 - 20 ml,
disuntikkan perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit.
4.
Injeksi
intravenus ( i.v )
Disuntikkan
langsung ke dalam pembuluh darah vena. Bentuknya berupa larutan,
sedangkan bentuk suspensi atau emulsi tidak
boleh, sebab akan menyumbat pembuluh darah vena tersebut. Dibuat
isitonis, kalau terpaksa dapat sedikit hipertonis (disuntikkannya lambat /
perlahan-lahan dan tidak mempengaruhi sel darah); volume antara 1 - 10 ml.
Injeksi intravenus yang diberikan dalam dosis tunggal dengan volume lebih dari
10 ml, disebut "infus intravena/ Infusi/Infundabilia".
Infusi harus bebas pirogen dan tidak boleh mengandung bakterisida, jernih,
isotonis.
Injeksi
i.v dengan volume 15 ml atau lebih tidak boleh mengandung bakterisida.
Injeksi
i.v dengan volume 10 ml atau
lebih harus bebas pirogen.
5.
Injeksi
intraarterium ( i.a )
Disuntikkan
ke dalam pembuluh darah arteri / perifer / tepi, volume antara 1 - 10 ml, tidak
boleh mengandung bakterisida.
6.
Injeksi
intrakor / intrakardial ( i.kd )
Disuntikkan
langsung ke dalam otot jantung atau ventriculus, tidak boleh mengandung
bakterisida, disuntikkan hanya dalam keadaan gawat.
7. Injeksi intratekal (i.t),
intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural ( i.d ), subaraknoid.
Disuntikkan
langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang pada dasar otak ( antara 3 -4
atau 5 - 6 lumbra vertebrata ) yang ada cairan cerebrospinalnya. Larutan harus
isotonis karena sirkulasi cairan cerebrospinal adalah lambat, meskipun larutan
anestetika sumsum tulang belakang sering hipertonis. Jaringan syaraf di daerah
anatomi disini sangat peka.
8.
Intraartikulus
Disuntikkan
ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuk suspensi / larutan dalam
air.
9.
Injeksi
subkonjuntiva
Disuntikkan
ke dalam selaput lendir di bawah mata. Berupa suspensi / larutan, tidak lebih
dari 1 ml.
10.
Injeksi
intrabursa
Disuntikkan
ke dalam bursa subcromillis atau bursa olecranon dalam bentuk larutan suspensi
dalam air.
11.
Injeksi
intraperitoneal ( i.p )
Disuntikkan
langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan cepat ; bahaya infeksi besar.
12.
Injeksi
peridural ( p.d ), extradural, epidural
Disuntikkan
ke dalam ruang epidural, terletak diatas durameter, lapisan penutup terluar
dari otak dan sumsum tulang belakang.
2.4 Susunan Isi ( Komponen ) Obat
Suntik
1. Bahan obat / zat berkhasiat
a. Memenuhi syarat yang tercantum
sesuai monografinya masing-masing dalam Farmakope.
b. Pada etiketnya tercantum : p.i ( pro
injection )
c. Obat yang beretiket p.a (
pro analisa ) walaupun secara kimiawi terjamin kualitasnya, tetapi
belum tentu memenuhi syarat untuk injeksi.
2. Zat pembawa / zat pelarut
Dibedakan
menjadi 2 bagian :
a. Zat pembawa berair
Umumnya
digunakan air untuk injeksi. Disamping itu dapat pula digunakan injeksi NaCl,
injeksi glukosa, injeksi NaCl compositus, Sol.Petit. Menurut FI.ed.IV, zat
pembawa mengandung air, menggunakan air untuk injeksi,sebagai zat pembawa
injeksi harus memenuhi syarat Uji pirogen dan uji
Endotoksin Bakteri. NaCl dapat ditambahkan untuk memperoleh isotonik.
Kecuali dinyatakan lain, Injeksi NaCl atau injeksi
Ringer dapat digunakan untuk pengganti air untuk injeksi.
Air
untuk injeksi ( aqua pro injection ) dibuat
dengan cara menyuling kembali air suling segar dengan alat kaca netral atau
wadah logam yang dilengkapi dengan labu percik. Hasil sulingan pertama dibuang,
sulingan selanjutnya ditampung dalam wadah yang cocok dan segera digunakan.
Jika dimaksudkan sebagai pelarut serbuk untuk injeksi, harus disterilkan dengan
cara Sterilisasi A atau C segera setelah diwadahkan.
Air
untuk injeksi bebas udara dibuat dengan mendidihkan
air untuk injeksi segar selama tidak kurang dari 10 menit sambil mencegah
hubungan dengan udara sesempurna mungkin, didinginkan dan segera digunakan.
Jika dimaksudkan sebagai pelarut serbuk untuk injeksi , harus disterilkan
dengan cara sterilisasi A, segera setelah diwadahkan.
b. Zat pembawa tidak berair
Umumnya
digunakan minyak untuk injeksi (olea pro injection) misalnya
Ol. Sesami, Ol. Olivarum, Ol. Arachidis.
Pembawa
tidak berair diperlukan apabila :
(1) Bahan
obatnya sukar larut dalam air
(2) Bahan
obatnya tidak stabil / terurai dalam air.
(3) Dikehendaki
efek depo terapi.
Syarat-syarat
minyak untuk injeksi adalah :
(1) Harus
jernih pada suhu 100 .
(2) Tidak
berbau asing / tengik
(3) Bilangan
asam 0,2 - 0,9
(4) Bilangan
iodium 79 - 128
(5) Bilangan
penyabunan 185 - 200
(6) Harus
bebas minyak mineral
(7) Memenuhi
syarat sebagai Olea Pinguia yaitu cairan jernih atau massa padat yang menjadi jernih
diatas suhu leburnya dan tidak berbau asing atau tengik. Obat suntik dengan pembawa minyak, tidak boleh
disuntikkan secara i.v , hanya boleh secara i.m.
3. Bahan pembantu / zat tambahan
Ditambahkan
pada pembuatan injeksi dengan maksud :
a) Untuk
mendapatkan pH yang optimal
b) Untuk
mendapatkan larutan yang isotonis
c) Untuk
mendapatkan larutan isoioni
d) Sebagai
zat bakterisida
e) Sebagai
pemati rasa setempat ( anestetika lokal )
f) Sebagai
stabilisator.
Menurut
FI.ed.IV, bahan tambahan untuk mempertinggi stabilitas danefektivitas harus
memenuhi syarat antara lain tidak berbahaya dalam jumlah yang
digunakan, tidak mempengaruhi efek terapetik atau respon pada uji penetapan
kadar.
Tidak boleh ditambahkan bahan
pewarna, jika hanya mewarnai sediaan akhir. Pemilihan
dan penggunaan bahan tambahan harus hati-hati untuk injeksi yang diberikan
lebih dari 5 ml. Kecuali dinyatakan lain berlaku sebagai berikut :
1.
Zat
yang mengandung raksa dan surfaktan kationik, tidak
lebih dari 0,01%
2.
Golongan
Klorbutanol, kreosol dan fenol tidak
lebih dari 0,5 %
3.
Belerang
dioksida atau sejumlah setara dengan Kalium atau Natrium Sulfit, bisulfit atau
metabisulfit , tidak lebih
dari 0,2 %
Untuk mendapatkan pH yang optimal
pH optimal untuk darah atau
cairan tubuh yang lain adalah 7,4 dan disebut Isohidri.
Karena tidak semua bahan obat
stabil pada pH cairan tubuh, sering injeksi dibuat di luar pH cairan tubuh dan
berdasarkan kestabilan bahan tersebut.
Pengaturan pH larutan injeksi
diperlukan untuk :
1. Menjamin
stabilitas obat, misalnya perubahan warna, efek terapi optimal obat,
menghindari kemungkinan terjadinya reaksi dari obat.
2. Mencegah
terjadinya rangsangan / rasa sakit waktu disuntikkan.
Jika pH terlalu tinggi (lebih dari 9)
dapat menyebabkan nekrosis jaringan (jaringan menjadi mati),
sedangkan pH yang terlalu rendah (di bawah 3) menyebabkan rasa
sakit jika disuntikkan. misalnya beberapa obat yang stabil dalam
lingkungan asam : Adrenalin HCl, Vit.C, Vit.B1 .
pH dapat diatur dengan cara :
1. Penambahan
zat tunggal , misalnya asam untuk alkaloida, basa untuk golongan sulfa.
2. Penambahan
larutan dapar, misalnya dapar fosfat untuk injeksi, dapar borat untuk obat tetes mata.
Yang perlu diperhatikan pada
penambahan dapar adalah :
1. Kecuali
darah, cairan tubuh lainnya tidak mempunyai kapasitas dapar.
2. Pada
umumnya larutan dapar menyebabkan larutan injeksi menjadi hipertonis.
3. Bahan
obat akan diabsorpsi bila kapasitas dapar sudah hilang, maka sebaiknya obat
didapar pada pH yang tidak jauh dari isohidri. Jika kestabilan obat pada pH
yang jauh dari pH isohidri, sebaiknya obat tidak usah didapar, karena perlu
waktu lama untuk meniadakan kapasitas dapar.
Untuk mendapatkan larutan yang
isotonis
Larutan obat suntik
dikatakan isotonis jika :
1.
Mempunyai
tekanan osmotis sama dengan tekanan osmotis cairan tubuh ( darah, cairan
lumbal, air mata ) yang nilainya sama dengan tekanan osmotis larutan NaCl 0,9 %
b/v.
2.
Mempunyai
titik beku sama dengan titik beku cairan tubuh, yaitu - 0,520C.
Jika larutan injeksi mempunyai
tekanan osmotis lebih besar dari larutan NaCl 0,9 % b/v, disebut " hipertonis ",
jika lebih kecil dari larutan NaCl 0,9 % b/v disebut " hipotonis "
.
Jika larutan injeksi yang
hipertonis disuntikkan, air dalam sel akan ditarik keluar dari sel ,
sehingga sel akan mengkerut, tetapi keadaan ini bersifat sementara dan tidak
akan menyebabkan rusaknya sel tersebut.
Jika larutan injeksi yang
hipotonis disuntikkan, air dari larutan injeksi akan diserap dan masuk ke dalam
sel, akibatnya dia akan mengembang dan menyebabkan pecahnya sel itu dan keadaan
ini bersifat tetap. Jika yang pecah itu sel darah merah, disebut " Haemolisa ".
Pecahnya sel ini akan dibawa aliran darah dan dapat menyumbat pembuluh darah
yang kecil.
Jadi sebaiknya larutan injeksi
harus isotonis, kalau terpaksa dapat sedikit hipertonis, tetapi jangan sampai
hipotonis.
Cairan tubuh kita masih dapat
menahan tekanan osmotis larutan injeksi yang sama nilainya dengan larutan NaCl
0,6 - 2,0 % b/v.
Larutan injeksi dibuat isotonis
terutama pada penyuntikan :
1. Subkutan :
jika tidak isotonis dapat menimbulkan rasa sakit, sel-sel sekitar penyuntikan
dapat rusak, penyerapan bahan obat tidak dapat lancar.
2.
Intralumbal ,
jika terjadi perubahan tekanan osmotis pada cairan lumbal, dapat menimbulkan
perangsangan pada selaput otak.
3.
Intravenus,
terutama pada Infus intravena, dapat menimbulkan haemolisa.
Untuk mendapatkan Isoioni
Yang dimaksud isoioni adalah larutan injeksi tersebut
mengandung ion-ion yang sama dengan ion-ion yang terdapat dalam darah, yaitu :
K+ , Na+ , Mg++ , Ca++ , Cl-. Isoioni diperlukan
pada penyuntikan dalam jumlah besar, misalnya pada infus intravena.
Sebagai zat bakterisida / bakteriostatik
Zat bakterisida perlu ditambahkan jika :
1. Bahan obat tidak disterilkan, larutan
injeksi dibuat secara aseptik.
2. Bila larutan injeksi disterilkan dengan
cara penyaringan melalui penyaring bakteri steril.
3. Bila larutan injeksi disterilkan dengan
cara pemanasan pada suhu 980 –
1000selama 30 menit.
4. Bila larutan injeksi diberikan dalam wadah
takaran berganda.
Zat
bakterisida tidak perlu ditambahkan jika :
1. sekali penyuntikan melebihi 15 ml.
2. Bila larutan injeksi tersebut sudah cukup
daya bakteriostatikanya ( tetes mata Atropin Sulfat dalam pembawa asam borat,
tak perlu ditambah bakterisida, karena asam borat dapat berfungsi pula sebagai
antiseptik ).
3. Pada penyuntikan : intralumbal, intratekal, peridural,
intrasisternal, intraarterium dan intrakor.
Sebagai zat pemati rasa setempat / anestetika local
Digunakan
untuk mengurangi rasa sakit pada tempat dilakukan penyuntikan , yang disebabkan
larutan injeksi tersebut terlalu asam. Misalnya Procain dalam injeksi
Penicillin dalam minyak, Novocain dalam injeksi Vit. B-compleks, Benzilalkohol
dalam injeksi Luminal-Na.
Sebagai Stabilisator
Digunakan
untuk menjaga stabilitas larutan injeksi dalam penyimpanan. Stabilisator
digunakan untuk:
(1) Mencegah
terjadinya oksidasi oleh udara, dengan cara :
(a) Mengganti
udara di atas larutan injeksi dengan gas inert, misalnya gas N2atau
gas CO2.
(b) Menambah
antioksidant untuk larutan injeksi yang tidak tahan terhadap O2dari
udara. Contohnya : penambahan Na-metabisulfit/Na-pirosulfit 0,1 % b/v pada
larutan injeksi Vit.C, Adrenalin dan Apomorfin.
(2) Mencegah
terjadinya endapan alkaloid oleh sifat alkalis dari gelas. Untuk ini dapat
dengan menambah chelating
agent EDTA ( Etilen Diamin Tetra Asetat ) untuk mengikat ion logam yang lepas
dari gelas/wadah kaca atau menambah HCl sehingga bersuasana asam.
(3) Mencegah terjadinya perubahan pH
dengan menambah larutan dapar.
(4) Menambah/menaikkan kelarutan bahan
obat, misalnya injeksi Luminal dalam Sol.Petit, penambahan Etilendiamin pada
injeksi Thiophyllin.
Wadah dan tutup
Dibedakan
: wadah untuk injeksi dari kaca atau plastik.
Dapat
juga dibedakan lagi menjadi :
·
Wadah dosis
tunggal ( single dose ), wadah untuk sekali pakai misalnya
ampul.
·
Ditutup dengan cara melebur ujungnya dengan
api sehingga tertutup kedap tanpa penutup karet.
·
Wadah dosis
ganda ( multiple dose ), wadah untuk beberapa kali
penyuntikan, umumnya ditutup dengan karet dan alumunium, misalnya vial (
flakon ) , botol.
·
Wadah kaca
Syarat wadah kaca :
1. Tidak boleh bereaksi dengan
bahan obat
2. Tidak boleh mempengaruhi khasiat
obat.
3. Tidak boleh memberikan zarah /
partikel kecil ke dalam larutan injeksi.
4. Harus dapat memungkinkan
pemeriksaan isinya dengan mudah.
5. Dapat ditutup kedap dengan cara
yang cocok.
6. Harus memenuhi syarat " Uji Wadah kaca untuk injeksi "
Wadah dari plastik ( polietilen, polipropilen ) .
Keuntungan : netral secara kimiawi, tidak mudah pecah dan tidak terlalu berat
hingga mudah diangkut, tidak diperlukan penutup karet.
Kerugian : dapat ditembus uap air hingga kalau disimpan akan kehilangan
air, juga dapat ditembus gas CO2.
·
Tutup karet
Digunakan pada wadah dosis ganda yang terbuat dari
gelas/kaca. Tutup karet dibuat dari karet sintetis atau bahan lain yang cocok.
Untuk injeksi minyak , tutup harus dibuat dari bahan yang tahan minyak atau
dilapisi bahan pelindung yang cocok.
Syarat tutup karet yang baik adalah bila direbus dalam otoklaf, maka :
·
Karet tidak lengket / lekat, dan jika ditusuk dengan
jarum suntik, tidak melepaskan pecahannya serta segera tertutup kembali setelah
jarum suntik dicabut.
·
Setelah dingin tidak boleh keruh.
·
Uapnya tidak menghitamkan kertas timbal asetat (
Pb-asetat ).
Cara mencuci :
mula-mula dicuci dengan detergen yang cocok, jangan memakai sabun Calsium/Magnesium karena ion-ion itu akan mengendap
pada dinding kaca. Bilas
dengan air dan rebus beberapa kali pendidihan, tiap kali pendidihan, air
diganti.
Cara sterilisasi :
masukkan tutup karet ke dalam labu berisi larutan
bakterisida, tutup, sterilkan dengan cara sterilisasi A, biarkan selama tidak
kurang dari 7 hari. Bakterisida yang digunakan harus sama dengan bakterisida
yang digunakan dalam obat suntiknya dengan kadar 2 kalinya dengan volume untuk
tiap 1 gram karet dibutuhkan 2 ml.
Tutup karet yang mengandung Na-pirosulfit, sebelum
dipakai harus direndam dalam larutan bakterisida yang mengandung Na-pirosulfit
0,1 % selama tidak kurang dari 48 jam.
4.
Cara Pembuatan Obat Suntik.
Persiapan pembuatan obat suntik :
a.
Perencanaan
Direncanakan dulu, apakah obat suntik itu akan dibuat
secara aseptik atau dilakukan sterilisasi akhir ( nasteril ).
Pada pembuatan kecil-kecilan alat yang digunakan
antara lain pinset, spatel, pengaduk kaca, kaca arloji yang disterilkan dengan
cara dibakar pada api spiritus.
Ampul, Vial atau flakon beserta tutup karet, gelas
piala, erlemeyer, corong yang dapat disterilkan dalam oven 1500 selama 30 menit ( kecuali tutup karet,
didihkan selama 30 menit dalam air suling atau menurut FI.ed.III )
Kertas saring, kertas G3, gelas ukur disterilkan
dalam otoklaf. Untuk pembuatan besar-besaran di pabrik, faktor tenaga manusia
juga harus direncanakan.
b.
Perhitungan dan penimbangan
Perhitungan dibuat berlebih dari jumlah yang harus
didapat, karena dilakukan penyaringan, kemudian ditimbang. Larutkan
masing-masing dalam Aqua p.i
yang sudah dijelaskan cara pembuatannya, kemudian dicampurkan.
c.
Penyaringan
Lakukan penyaringan hingga jernih dan tidak boleh ada
serat yang terbawa ke dalam filtrat. Pada pembuatan kecil-kecilan dapat
disaring dengan kertas saring biasa sebanyak 2 kali , lalu disaring lagi dengan
kertas saring G3.
d.
Pengisian ke dalam wadah
Cairan :
Farmakope telah mengatur volume tambahan yang
dianjurkan.
Bubuk kering :
jumlah bubuk diukur dengan jalan
penimbangan atau berdasarkan volume, diisi melalui corong.
Pengisian dengan wadah takaran
tunggal dijaga supaya bagian yang akan ditutup dengan pemijaran, harus bersih,
terutama dari zat organik, karena pada penutupan zat organik tersebut
akan menjadi arang dan menghitamkan wadah sekitar ujungnya.
Membersihkan bagian leher wadah
dapat dilakukan dengan :
· Memberi pelindung pada jarum yang dipakai untuk
mengisi wadah.
· Menyemprot dengan uap air pada mulut wadah obat suntik
yang dibuat dengan pembawa berai.
e.
Penutupan Wadah
Wadah dosis tunggal : ditutup dengan cara melebur ujungnya dengan api
hingga tertutup kedap.
Wadah dosis ganda : ditutup dengan karet melalui proses pengurangan
tekanan hingga karet tertarik ke dalam. Tutup karet dilapisi dengan tutup
alumunium.
f.
Penyeterilan ( Sterilisasi )
Sterilisasi menurut Fi.ed.III dan IV.dapat dilakukan
sesuai dengan persyaratan masing-masing monografinya dan sifat dari larutan
obat suntiknya.
g.
Uji sterilitas pada teknik aseptic
Sediaan steril selalu dilakukan Uji Sterilitas sebelum sediaan itu diedarkan ke
pasaran.
Uji Sterilitas dapat dilakukan sebagai berikut : ke dalam salah satu wadah dimasukkan medium biakan bakteri sebagai
ganti cairan steril. Tutup wadah dan eramkan pada suhu 320 selama 7 hari. Jika terjadi
pertumbuhan kuman, menunjukkan adanya cemaran yang terjadi pada waktu pengisian
bahan steril ke dalam wadah akhir yang steril.
Pembuatan larutan injeksi :
Dalam
garis besar cara pembuatan larutan injeksi dibedakan :
1.
Cara aseptic
2.
Cara non-aseptik ( Nasteril )
1. Cara
aseptic
: Digunakan kalau bahan obatnya tidak dapat disterilkan, karena
akan rusak atau mengurai.
Caranya : Zat pembawa, zat pembantu, wadah,
alat-alat dari gelas untuk pembuatan, dan yang lainnya yang diperlukan
disterilkan sendiri-sendiri. Kemudian bahan obat, zat pembawa, zat pembantu
dicampur secara aseptik dalam ruang aseptik hingga terbentuk larutan injeksi
dan dikemas secara aseptik.
Skema pembuatan secara aseptik :
Bahan obat
|
Zat pembawa ( steril )
|
Zat pembantu ( steril )
|
||
Alat untuk pembuatan
( gelas )
↓
|
|
|
||
Dicuci
|
→
|
disterilkan
|
→
|
Dilarutkan
( ruang steril )
|
wadah ( ampul, vial )
↓
|
↓
|
|||
Dicuci
|
→
|
disterilkan
|
→
|
Diisi
↓
|
Ditutup kedap
↓
|
||||
Dikarantina
↓
|
||||
Diberi etiket dan dikemas
|
|
Diperiksa
|
||
2. Cara
non-aseptik ( NASTERIL ).
Dilakukan sterilisasi akhir.
Caranya : bahan obat dan zat pembantu dilarutkan ke dalam zat pembawa dan
dibuat larutan injeksi. Saring hingga jernih dan tidak boleh ada serat yang
terbawa ke dalam filtrat larutan. Masukkan ke dalam wadah dalam keadaan bersih
dan sedapat mungkin aseptik, setelah dikemas, hasilnya disterilkan dengan cara
yang cocok.
Skema
pembuatan secara non-aseptik :
Bahan obat
|
Zat pembawa
|
Zat pembantu
|
||
Alat untuk pembuatan
( gelas )
↓
|
|
|
||
Dicuci
|
Dilarutkan
( ruang steril )
↓
|
|||
wadah ( ampul, vial )
↓
|
Disaring
↓
|
|||
Dicuci
|
Diisi
↓
|
|||
Ditutup kedap
↓
Disterilkan
↓
|
||||
Dikarantina
↓
|
||||
Diberi etiket dan dikemas
|
|
Diperiksa
|
||
3. Syarat - Syarat Obat Suntik
Syarat
berikut hanya berlaku bagi injeksi berair :
1.
Harus aman dipakai, tidak boleh menyebabkan
iritasi jaringan atau efek toksis. Pelarut dan bahan penolong harus dicoba pada
hewan dulu, untuk meyakinkan keamanan pemakaian bagi manusia.
2.
Jika berupa larutan harus jernih, bebas dari
partikel-partikel padat, kecuali yang berbentuk suspensi.
3.
Sedapat mungkin lsohidris, yaitu mempunyai pH = 7,4,
agar tidak terasa sakit dan penyerapannya optimal.
4.
Sedapat mungkin Isotonik, yaitu mempunyai
tekanan osmose sama dengan tekanan osmose darah / cairan tubuh, agar tidak
terasa sakit dan tidak menimbulkan haemolisa. Jika terpaksa dapat dibuat sedikit hipertonis, tetapi
jangan hipotonis.
5.
Harus steril, yaitu bebas dari mikroba hidup, baik
yang patogen maupun yang apatogen, baik dalam bentuk vegetatif maupun spora.
6.
Bebas pirogen, untuk larutan injeksi yang mempunyai
volume 10 ml atau lebih sekali penyuntikan.
4.
Penandaan menurut FI.ed.IV
Larutan intravena volume besar adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan
dikemas dalam wadah bertanda volume lebih dari 100 ml.
Injeksi volume kecil adalah injeksi yang dikemas dalam wadah bertanda
volume 100 ml atau kurang.
Penandaan : Pada etiket tertera nama
sediaan, untuk sediaan cair terterapersentase atau jumlah
zat aktif dalam volume tertentu, untuk sediaan kering tertera jumlah zat aktif, cara pemberian, kondisi penyimpanan dan tanggal
kadaluwarsa, nama pabrik pembuat dan
atau pengimpor serta nomor lot ataunomor bets yang menunjukkan identitasnya. Wadah injeksi yang akan digunakan
untuk dialisis, hemofiltrasi
atau cairan irigasi dan volume lebih dari 1 liter, diberi penandaan bahwa sediaan tidak digunakan untuk infus
intravena., untuk injeksi yang mengandung antibiotik : juga harus tertera kesetaraan
bobot terhadap U.I dan tanggal kadaluwarsanya. Injeksi untuk hewan ditandai untuk menyatakankhasiatnya.
Pengemasan; Sediaan untuk pemberian intraspinal, intrasisternal
atau pemakaian peridural dikemas hanya dalam wadah
dosis tunggal.
5.
Keuntungan dan Kerugian Bentuk Sediaan
Injeksi
Keuntungan :
a. Bekerja
cepat , misalnya pada injeksi Adrenalin pada schock anfilaksis.
b.
Dapat
digunakan jika : obat rusak jika kena cairan lambung, merangsang jika ke cairan
lambung, tidak diabsorpsi secara baik oleh cairan lambung.
c.
Kemurnian dan takaran zat khasiat lebih terjamin.
d.
Dapat digunakan sebagai depo terapi
e.
Dapat dicapai
efek fisiologis segera, untuk kondisi penyakit tertentu (jantung berhenti)
f.
Dapat diberikan
untuk sediaan yang tidak efektif diberikan secara oral atau obat yang dirusak
oleh sekresi asam lambung
g.
Baik untuk
penderita yang tidak memungkinkan mengkonsumsi oral (sakit jiwa atau tidak
sadar)
h.
Pemberian
parenteral memberikan kemungkinan bagi dokter untuk mengontrol obat, karena
pasien harus kembali melakukan pengobatan
i.
Sediaan
parenteral dapat menimbulkan efek lokal seperti pada kedokteran
gigi/anastesiologi
j.
Pengobatan
parenteral merupakan salah satu cara untuk mengoreksi gangguan serius cairan dan keseimbangan
elektrolit
Kerugian :
a. Karena bekerja cepat, jika
terjadi kekeliruan sukar dilakukan pencegahan.
b. Cara pemberian lebih sukar,
harus memakai tenaga khusus.
c. Kemungkinan terjadinya infeksi
pada bekas suntikan.
d. Secara
ekonomis lebih mahal dibanding dengan sediaan yang digunakan per oral.
e.
Pemberian
sediaan parenteral harus dilakukan oleh personel yang terlatih dan membutuhkan
waktu pemberian yang lebih lama
f.
Pemberian obat
secara parenteral sangat berkaitan dengan ketentuan prosedur aseptik dengan
rasa nyeri pada lokasi penyuntikan yang tidak selalu dapat dihindari
g.
Bila obat telah
diberikan secara parenteral, sukar sekali untuk menghilangkan/merubah efek
fisiologisnya karena obat telah berada dalam sirkulasi sistemik
h.
Harganya
relatif lebih mahal, karena persyaratan manufaktur dan pengemasan
i.
Masalah lain
dapat timbul pada pemberian obat secara parenteral seperti septisema, infeksi
jamur, inkompatibilias karena pencampuran sediaan parenteral dan interaksi obat
Persyaratan sediaan
parenteral tentang sterilitas, bebas dari partikulat, bebas dari pirogen, dan
stabilitas sediaan parenteral harus disadari oleh semua personel yang terlibat.
6.
Tujuan
Pemberian Sediaan Parenteral
1.
Untuk
memastikan obat sampai ke bagian tubuh atau jaringan yang membutuhkan dengan
konsentrasi yang mencukupi.
2.
Untuk mencapai
parameter farmakologi tertentu yang terkontrol, seperti waktu onset,serum
peak, kecepatan eliminasi obat dari dalam tubuh.
3.
Untuk pasien
yang tidak bisa melakukan self medicate
4.
Untuk mendapatkan
efek biologik yang tidak didapatkan melalui pemakaian oral
5.
Untuk
alternatif bila rute yang diharapkan (oral) tidak tersedia
6.
Untuk
mendapatkan efek lokal, untuk meminimalkan efek toksik sistemik
7.
Untuk pasien
yang tidak sadar, tidak kooperatif, tidak terkontrol
8.
Untuk
pengobatan ketidakseimbangan elektrolit dan cairan untuk supply nutrisi jangka
panjang/pendek
9.
Untuk
mendapatkan efek lokal yang diharapkan
7.
Rute Pemberian
Sediaan Injeksi
1.
Injeksi
intrakutan atau intradermal (ic): volume yang disuntikkan sedikit (0,1 – 0,2
mL). Biasanya digunakan untuk tujuan diagnosa, misalnya detekdi alergi terhadap
suatu zat/obat.
2.
Injeksi
subkutan (sc) atau hipoderma: disuntikkan ke dalam jaringan di bawah kulit ke
dalam alveola. Larutan sedapat mungkin isotonis, sedang pH sebaiknya netral,
tujuannya untuk mengurangi iritasi jaringan dan mencegah kemungkinan terjadinya
nekrosis (mengendornya kulit). Jumlah larutan yang disuntikkan tidak lebih dari
1 mL.
3.
Injeksi
intramuskular (im): disuntikkan ke dalam otot daging dan volume sedapat mungkin
tidak lebih dari 4 mL. Penyuntikan volume besar dilakukan perlahan-lahan untuk
mencegah rasa sakit.
4.
Injeksi
intravena (iv): mengandung cairan yang tidak menimbulkan iritasi dan dapat
bercampur dengan air, volume pemberian 1-10 mL. Larutan biasanya isotonis atau
hipertonis. Jika hipertonis maka harus diberikan perlahan-lahan. Jika dosis
tunggal dan diberikan lebih dari 15 mL, tidak boleh mengandung bakterisida,
dan jika lebih dari 10 mL harus bebas pirogen. Pemberian lebih dari 10 mL
umumnya disebut infus, larutan diusahakan isotonis dan diberikan dengan
kecepatan 50 tetes/menit dan lebih baik pada suhu badan.
5.
Injeksi
intraarterium (ia): mengandung cairan non iritan yang dapat bercampur dengan
air, volume yang disuntikkan 1-10 mL dan digunakan bila diperlukan efek obat
yang segera dalam daerah perifer. Tidak boleh mengandung bakterisida.
6.
Injeksi
intrakardial (ikd): berupa larutan, hanya digunakan untuk keadaan gawat,
disuntikkan ke dalam otot jantung atau ventrikulus. Tidak boleh mengandung
bakterisida.
7.
Injeksi
intratekal (it), intraspinal, intradural: disuntikkan ke dalam saluran sum-sum
tulang belakang (antara 3-4 atau 5-6 lumba vertebra) yang berisi cairan
cerebrospinal. Berupa larutan, harus isotonis, harus benar-benar steril, bersih
sebab jaringan syaraf di daerah ini sangat peka.
8.
Injeksi
intratikulus: disuntikkan ke dalam cairan sendi dalam rongga sendi.
9.
Injeksi
subkonjungtiva: disuntikkan pada selaput lendir mata bawah, umumnya tidak lebih
dari 1 mL
10.
Injeksi yang
lain: (a) intraperitoneal (ip): disuntikkan langsung ke dalam rongga perut; (b)
peridural (pd), ekstra dural: disuntikkan ke dalam ruang epidura, terletak di
atas durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan sum-sum tulang belakang;
(c) intrasisernal (is): disuntikkan pada saluran sum-sum tulang belakang pada
otak.
8.
Bentuk-bentuk
Sedian Injeksi
1.
Larutan air:
merupakan bentuk yang paling sederhana dan banyak digunakan. Bentuk larutan air
dapat digunakan untuk semua rute pemberian.
2.
Suspensi air:
biasanya diberikan dalam rute intramuscular(im) dan subkutan (sc). Suspensi
tidak pernah diberikan secara intravena (iv), intraarteri, inraspinal,
inrakardiak, atau injeksi optalmik. Ukuran partikel suspensi biasanya kecil dan
distribusi ukuran partikel harus dikontrol untuk meyakinkan partikel dapat
melewati jarum suntik saat pemberian. Ukuran partikel tidak boleh membesar dan
tidak boleh terjadi caking saat penyimpanan.
3.
Larutan kering:
untuk sediaan yang larut dalam air, tetapi tidak stabil di air.
4.
Larutan minyak:
dibuat bila zat aktif tidak larut air tetapi larut dalam minyak dan diberikan
melalui im. Larutan minyak menimbulkan efek depo, untuk masalah iritasi dan
sensitisasi, suspensi air lebih dipilih dibanding larutan minya.
5.
Suspensi
minyak: injeksi suspensi bisa juga dibuat dalam pembawa minyak, meskipun
pembuatannya lebih jarang dibanding suspensi air. Suspensi minyak dapat
menimbulkan efek depot/lepas lambat pada rute pemberian im.
6.
Injeksi minyak:
senyawa yang bersifat lipofilik banyak yang dibuat dalam bentuk injeksi minyak.
Sediaan ini secara umum digunakan dengan rute im, dan pada keadaan normal tidak
digunakan untuk rute lain.
7.
Emulsi: zat
yang bersifat lipofilik juga dapat dibuat dalam bentuk emulsi o/w. Zat dapat
dilarutkan dalam larutan minyak atau zatnya sendiri sudah benbentuk minyak.
Droplet minyak harus dikontrol dengan hati-hati dan pada saat penyimpanan agar
emulsi tidak pecah. Ukuran droplet ideal 3 μm. Biasanya dalam bentuk
nutrisi parenteral.
8.
Larutan
koloidal: biasanya diberikan melalui rute im.
9.
Sistem pelarut
campur: banyak kondisi klinik sangat diperlukan suatu zat dibuat dalam bentuk
larutan sejati, agar siap bercampur dengan larutan iv ketika diberikan. Untuk
zat yang sukar larut dalam air, maka selain digunakan dalam bentuk garam atau
diformulasi dalam pH tinggi atau rendah, beberapa zat dapat pula diformulasi
dalam pelarut campur. Kosolvent digunakan untuk menurunkan polaritas pembawa
sehingga zat lebih larut. Pemberian biasanya mengiritasi, toksik dan
menimbulkan rasa nyeri. Pemberian intravena perlu dilakukan perlahan untuk
mencegah presipitasi zat aktif. Pemilihan kosolvent terbatas oleh toksitas.
10.
Larutan
terkonsentrasi: berupa konsentrat dan diberikan dengan dilarutkan dahulu di
dalam larutan iv.
11.
Serbuk untuk
injeksi: beberapa zat yang tidak stabil dalam air, sehingga dibuat dalam bentuk
serbuk untuk injeksi. Sediaan ini bisa berupa serbuk ‘dry filled’ atau serbuk
liofilisasi (‘freeze dried’).
12.
Implant:
biasanya berupa hormon dan diberikan dengan maksud pemberian lambat, ditunda
atau dikontrol, dimana pemberian tidak dapat dilakukan via oral.
2.5
Larutan Mata
Larutan
obat mata adalah larutan steril, bebas partikel asing, merupakan sediaan yang
dibuat dan dikemas sedemikian rupa sehingga sesuai digunakan pada mata.
Pembuatan larutan obat mata membutuhkan perhatian khusus dalam hal toksisitas
obat, nilai isotonositas, kebutuhan akan dapar, kebutuhan akan pengawet dan
jika perlu pemilihan pengawet dan kemasan yang tepat.
Larutan
cuci mata atau yang lebih dikenal sebagai kolorium adalah larutan steril yang
jernih, bebas partikel asing yang dipakai untuk membersihkan mata. Dapat
ditambahkan zat dapar dan pengawet. Kolorium dibuat dengan melarutkan obat
dalam air, disaring hingga jernih, dimasukan dalam wadah tertutup dan
disterilkan. Alat dan wadah yang digunakan harus bersih dan steril.
Beberapa
obat larutan cuci mata perlu hipertonik untuk meningkatkan daya serap dan
meningkatkan kadar bahan aktif yang cukup tinggi untuk menghasilkan efek obat
yang cepat dan efektik. Apabila larutan obat seperti ini digunakan dalam jumlah
kecil, maka pengenceran dengan air mata cepat terjadi sehingga rasa perih
akibat hipertonisitas hanya sementara. Tetapi penyesuaian isotonisitas oleh
pengenceran dengan air mata tidak berarti jika digunakan larutan hipertonik
dalam jumlah besar. Jadi yang penting adalah larutan obat mata untuk keperluan
ini harus mendekati isotonik.
2.6 Penggolongan
obat mata berdasarkan farmakologi
1.
Obat mata sebagai anti-infektif dan antiseptic
Contohnya
: Albucetine eye drop 5 ml, 10 ml, 15 ml, dan oint 3,5 g
2.
Obat mata mengandung corticosteroid
Contohnya
: Celestone eye drop 5 ml
3.
Obat mata sebagai antiseptik dengam corticosteroid
Contohnya
: Cendo Xitrol 5 ml dan 10 ml
4.
Obat mata mempunyai efek midriatik
Contohnya
: Cendo Tropine 5 ml, 10 ml dan 15 ml
5.
Obat mata mempunyai efek miotik
Contohnya
: Cendo Carpine 5 ml, 10 ml dan 15 ml
6.
Obat mata mempunyai efek glaucoma
Contohnya
: Isotic Adretor 5 ml
7.
Obat mata mempunyai efek lain
Contohnya
: Catarlent eye drop 15 ml
2.7 Macam-macam
Larutan Mata
1. Collyrium
Adalah sediaan berupa larutan steril, jernih, bebas zat
asing, isotonus, digunakan untuk membersihkan mata.
2. Guttae
Opthalmicae
Obat
tetes mata (guttae ophthalmicae) adalah sediaan steril berupa larutan atau
suspensi, digunakan untuk mata, dengan cara meneteskan obat pada selaput lendir
mata, disekitar kelopak mata dan bola mata. Dimaksudkan untuk obat dalam atau
obat luar, diteteskan dengan menggunakan penetes yang menghasikan penetes
setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku dalam Farmakope Indonesia.
Obat
tetes mata sering digunakan pada mata, maka obatnya harus stabil secara kimia,
harus mempunyai aktivitas terapi yang optimal, hatus todak mengiritasi dan
tidak menimbulkan rasa sakit pada mata, harus jernih, harus bebas
mikroorganisme yang hidup dan tetap demikian selama penyimpan yang diperlukan.
Jadi
pada prinsipnya obat tetes mata harus :
· steril
· jernih
· bebas partikel asing
· sedapat mungkin isotonis
· sedapat mungkin isohidris
Sterilitas
dan Pengawet
Semua larutan untuk
mata harus dibuat steril dan bila mungkin ditambahkan bahan pengawet yang cocok
untuk menjamin sterilitas selama pemakaian. Larutan untuk mata yang digunakan
selama operasi atau pada mata yang trauma, umumnya tidak mengandung bahan
pengawet, karena hal ini akan menyebabkan iritasi pada jaringan didalam mata.
Pengawet yang ditambahkan untuk larutan mata misalnya : Benzalkonium klorida
0,013%, Benzetonium klorida 0,01%, klorobutanol 0,5%, Fenil Merkuri Asetat
0,004%, Timerosal 0,01%. Bahan pengawet ini mempunyai syarat-syarat : stabil
dengan obatnya, tersatukan secara kimia dengan bahan lain dengan formulasi dan
mempunyai aktivitas antibakteri.
Isotonis
Larutan obat
dikatakan isotonis apabila mempunyai tekanan osmosis sama dengan cairan tubuh.
Cairan tubuh termasuk darah dan cairan mata mempunyai tekanan osmosis yang
sebanding dengan larutan Natrium Klorida dalam air 0,9%. Dalam prakteknya batas
isotonitas suatu larutan mata berupa Natrium Klorida atau ekuivalensinya dapat
berkisar antara 0,6-2,0 tanpa rasa tidak nyaman pada mata.
Dapar
Dapar mungkin
digunakan dalam larutan mata karena : untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien,
untuk menjamin kestabilan obat, dan untuk mengawasi aktivitas terapeutik untuk
bahan obat pH mata normal 7,4. Larutan dapar yang sering digunakan dalam
larutan mata adalah dapar asam borat dan dapar pospat.
Viskositas
dan Zat Pengental
Pada pembuatan
larutan mata, zat pengental seringkali ditambahkan untuk menaikan viskositas
untuk membantu menahan obat pada jaringan sehingga menambah efektivitas
terapinya. Viskositas larutan obat mata dipandang optimal jika berkisar antara
15-25 centipoise. Zat pengental yang ditambahkan misalnya: metilselulosa,
hidroksipropilmetilselulosa dan polivinil alcohol.
3.
Oculentum
Oculentum atau
salep mata adalah salep steril yang digunakan pada mata.
Keuntungan obat
tetes mata :
1. Larutan
mata memiliki kelebihan dalam hal homogeny, bioavailabilitas, dan kemudahan
penanganan.
2. Suspense
mata memiliki kelebihan dimana adanya partikel zat aktif dapat memperpanjang
waktu tinggal pada mata sehingga meningkatkan waktu terdisolusinya oleh air
mata, sehingga terjadi peningkatan bioavailabilitas dan efek terapinya.
3. Tidak
menganggu penglihatan ketika digunakan
Kerugian obat
tetes mata :
1.
Kerugian yang prinsipil dari larutan mata adalah waktu kontak yang
relatif singkat antara obat dan permukaan yang terabsorsi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Larutan Injeksi
Memasukan obat tertentu ke
dalam jaringan tubuh dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau
melalui kulit atau selaput lendir atau menembus suatu atau lebih lapisan kulit
atau membran mukosa menggunakan alat suntik. ( depkes RI 1994 )
Obat
dimasukan ke dalam kulit, dibawah kulit, kedalam otot dan ke dalam vena dan pemberian
ini lebih cepat diserap daripada melalui oral. ( WHO 1998 )
Jadi pemberian obat perenteral adalah pemberian
obat atau cairan dengan cara dimasukan langsung kedalam kulit, dibawah kulit,
kedalam otot ataupun ke dalam vena.
2. Larutan Mata
obat
tetes mata haruslah :
a. steril
b. bebas dari
partikel tersuspensi kecuali bentuk suspense
c. sedapat ungkin
isotonis dan isohidris
d. Dibufer
e. Dalam
wadah kecil, praktis dan steril
f. Mengandung zat
bakteriostatik untuk menjaga sterilitas dan stabilitas
Formulasi suspense obat mata dapat
dibuat jika diperlukan untuk membuat produk yang bertujuan mengingkatkan waktu
kontak kornea, atau diperlukan untuk obat tidak larut atau tidak stabil dalam
pembawa air.
3.2 Saran
1. Larutan Injeksi
Sebelum memberikan Larutan injeksi sebaiknya pengguna
mengetahui cara pemakaiannya dan dalam keadaan steril.
2. Larutan Mata
Sebelum
memberikan larutan atau suspense oftalmik sebaiknya pengguna mencuci tangan
sampai bersih. Selama penanganan dan pemberian obat atau,
harus berhati-hati agar penetes tidak berkontak dengan mata, kelopak mata, atau
permukaan lain.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ditjen POM, (1979), Farmakope
Indonesia, Edisi III, Depkes RI, Jakarta.
2.
Ditjen POM, (1995), Farmakope
Indonesia, Edisi IV, Depkes RI, Jakarta.
3.
Parrot, L.E., (1971), Pharmaceutical
Technology Fundamental Pharmaceutics, Burgess Publishing Co, USA.
4.
Jenkins, G.L., (1969), Scoville’s:The
Art of Compounding, Burgess Publishing Co, USA.
5.
Sprowl, J.B., (1970), Prescription
Pharmacy, 2nd Edition, JB Lipicant Co, USA.
6.
Gennaro, A.R., (1998), Remington’s
Pharmaceutical Science, 18th Edition, Marck Publishing Co, Easton.
7.
Tjay, T.H., (2000), Obat-obat
Penting, Edisi V, Depkes RI, Jakarta.
8.
Ganiswara, S.B., (1995), Farmakologi
dan Terapi, Edisi IV, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta.
9.
Kibbe,A.H., (1994), Handbook
of Pharmaceutical Excipient, The Pharmaceutical Press, London.
10.
Lachman, L, et all, (1986), The
Theory and Practise of Industrial Pharmacy, Third Edition, Lea and
Febiger, Philadelphia.
11.
King,R.E., (1984), Dispensing
of Medication, Ninth Edition, Marck Publishing Company,
Philadelphia.
12.
Turco, S.,dkk., (1970), Sterile
Dosage Forms, Lea and Febiger, Philadelphia.
13.
Parfitt,K., (1994), Martindale
The Complete Drug Reference, 32nd Edition, Pharmacy Press.
14.
Gilman,G.A., ( ), Goodman and Gilman’s The Pharmaceutical Basis
of Therapeutics, Pergamen Press.
15.
AMA Drug Evaluation, (1995), Drug
Evaluation Annual, 1995, American Medical Association, America.
16.
Katzung, (2001), Farmakologi
Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar