Senin, 02 Februari 2015

Sediaan Steril (Injeksi dan Larutan Mata)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Salah satu bentuk sediaan steril adalah injeksi. Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Dimasukkan ke dalam tubuh dengan menggunakan alat suntik. Suatu sediaan parenteral harus steril karena sediaan ini unik yang diinjeksikan atau disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa ke dalam kompartemen tubuh yang paling dalam. Sediaan parenteral memasuki pertahanan tubuh yang memiliki efesiensi tinggi yaitu kulit dan membran mukosa sehingga sediaan parenteral harus bebas dari kontaminasi mikroba dan bahan-bahan beracun dan juga harus memiliki kemurnian yang dapat diterima.

Mata merupakan organ yang peka dan penting dalam kehidupan, terletak dalam lingkaran bertulang berfungsi untuk member perlindungan maksimal dan sebagai pertahanan yang baik dan kokoh. Penyakit mata dapat dibagi menjadi 4 yaitu, infeksi mata, iritasi mata, mata memar dan glaucoma. Mata mempunyai pertahanan terhadap infeksi karena secret mata mengandung enzim lisozim yang menyebabkan lisis pada bakteri dan dapat membantu mengeleminasi organism dari mata. Obat mata dikenal terdiri atas beberapa bentuk sediaan dan mempunyai mekanisme kerja tertentu. Obat mata dibuat khusus. Salah satu sediaan mata adalah obat tetes mata. Obat tetes mata ini merupakan obat yang berupa larutan atau suspensi steril yang digunakan secara local pada mata.




1.2    Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud pemberian obat parental?
2.      Apa tujuan pemberian secara parental?
3.      Bagaimana cara pemberiaannya?
4.      Apa yang dimaksud dengan Larutan mata?
1.3    Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini adalah untuk memahami teknik pemberian obat secara injeksi dan mengetahui cara pembuatan larutan mata.
1.4    Pengertian Larutan Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.
Dalam FI ED. IV, sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi  5  jenis yang berbeda :
1.         Sediaan berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain yang digunakan untuk injeksi, ditandai dengan nama,   Injeksi................
Dalam FI.ed.III disebut  berupa Larutan. Misalnya :
·      Inj. Vit.C, pelarutnya aqua pro injection
·      Inj. Camphor oil , pelarutnya Olea neutralisata ad injection
·      Inj. Luminal, pelarutnya Sol Petit atau propilenglikol dan air
2.         Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, ditandai dengan nama  ...................Steril.
Dalam FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan larutan yang memenuhi syarat larutan injeksi.
Misalnya : Inj. Dihydrostreptomycin Sulfat  steril
3.         Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan yang memenuhi persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa yang sesuai, ditandai dengan nama,............ Steril untuk Suspensi.
Dalam FI.ed.III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan suspensi  yang memenuhi syarat suspensi steril. Misalnya : Inj. Procaine Penicilline G steril untuk  suspensi.
4.         Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, ditandai dengan nama Suspensi.......... Steril.
Dalam FI.ed.III disebut Suspensi steril ( zat padat yang telah disuspensikan dalam pembawa yang cocok dan steril).
Misalnya : Inj. Suspensi Hydrocortisone Acetat steril.
5.         Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau bahan tambahan lain, ditandai dengan nama, ............. Untuk Injeksi. Dalam FI.ed.III disebut bahan obat dalam pembawa cair yang cocok, hasilnya merupakan emulsi yang memenuhi semua persyaratan emulsi steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk injeksi.

1.5    Pengertian Larutan Mata
Larutan obat mata adalah larutan steril, bebas partikel asing, merupakan sediaan yang dibuat dan dikemas sedemikian rupa sehingga sesuai digunakan pada mata. Pembuatan larutan obat mata membutuhkan perhatian khusus dalam hal toksisitas obat, nilai isotonositas, kebutuhan akan dapar, kebutuhan akan pengawet dan jika perlu pemilihan pengawet dan kemasan yang tepat.
Larutan cuci mata atau yang lebih dikenal sebagai kolorium adalah larutan steril yang jernih, bebas partikel asing yang dipakai untuk membersihkan mata.  Dapat ditambahkan zat dapar dan pengawet. Kolorium dibuat dengan melarutkan obat dalam air, disaring hingga jernih, dimasukan dalam wadah tertutup dan disterilkan. Alat dan wadah yang digunakan harus bersih dan steril.
Obat tetes mata (guttae ophthalmicae) adalah sediaan steril berupa larutan atau suspensi, digunakan untuk mata, dengan cara meneteskan obat pada selaput lendir mata, disekitar kelopak mata dan bola mata. Dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, diteteskan dengan menggunakan penetes yang menghasikan penetes setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku dalam Farmakope Indonesia.
Obat tetes mata sering digunakan pada mata, maka obatnya harus stabil secara kimia, harus mempunyai aktivitas terapi yang optimal, hatus todak mengiritasi dan tidak menimbulkan rasa sakit pada mata, harus jernih, harus bebas mikroorganisme yang hidup dan tetap demikian selama penyimpan yang diperlukan.























BAB II
PEMBAHASAN


2.1    Larutan Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan dulu sebelum digunakan, yang disuntikan dengan cara merobek jaringan kedalam kulit atau selaput lendir.

2.2    Penggolongan Injeksi
Dalam FI ED. IV, sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi  5  jenis yang berbeda :
1.         Sediaan berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain yang digunakan untuk injeksi, ditandai dengan nama,   Injeksi................
Dalam FI.ed.III disebut  berupa Larutan. Misalnya :
·      Inj. Vit.C, pelarutnya aqua pro injection
·      Inj. Camphor oil , pelarutnya Olea neutralisata ad injection
·      Inj. Luminal, pelarutnya Sol Petit atau propilenglikol dan air
2.         Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, ditandai dengan nama  ...................Steril.
Dalam FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan larutan yang memenuhi syarat larutan injeksi.
Misalnya : Inj. Dihydrostreptomycin Sulfat  steril
3.         Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan yang memenuhi persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa yang sesuai, ditandai dengan nama,............ Steril untuk Suspensi.
Dalam FI.ed.III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan suspensi  yang memenuhi syarat suspensi steril. Misalnya : Inj. Procaine Penicilline G steril untuk  suspensi.
4.         Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, ditandai dengan nama Suspensi.......... Steril.
Dalam FI.ed.III disebut Suspensi steril ( zat padat yang telah disuspensikan dalam pembawa yang cocok dan steril).
Misalnya : Inj. Suspensi Hydrocortisone Acetat steril.
5.         Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau bahan tambahan lain, ditandai dengan nama, ............. Untuk Injeksi. Dalam FI.ed.III disebut bahan obat dalam pembawa cair yang cocok, hasilnya merupakan emulsi yang memenuhi semua persyaratan emulsi steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk injeksi.

2.3    Macam-Macam Cara Penyuntikan
1.         Injeksi intrakutan ( i.k / i.c ) atau intradermal
Dimasukkan ke dalam kulit yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosa. Volume yang disuntikkan antara 0,1 - 0,2 ml, berupa larutan atau suspensi dalam air.
2.      Injeksi subkutan ( s.k / s.c ) atau hipodermik
Disuntikkan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam alveolar, volume yang disuntikkan tidak lebih dari 1 ml. Umumnya larutan bersifat isotonik, pH netral, bersifat depo (absorpsinya lambat). Dapat diberikan dalam jumlah besar (volume 3 - 4 liter/hari dengan penambahan enzym hialuronidase), bila pasien tersebut tidak dapat diberikan infus intravena. Cara ini disebut"Hipodermoklisa ".
3.      Injeksi intramuskuler ( i.m )
Disuntikkan ke dalam atau diantara lapisan jaringan / otot. Injeksi dalam bentuk larutan, suspensi atau emulsi dapat diberikan secara ini. Yang berupa larutan dapat diserap dengan cepat, yang berupa emulsi atau suspensi diserap lambat dengan maksud untuk mendapatkan efek yang lama. Volume penyuntikan antra 4 - 20 ml, disuntikkan perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit.
4.         Injeksi intravenus ( i.v )
Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena. Bentuknya berupa larutan, sedangkan bentuk suspensi atau emulsi tidak boleh, sebab akan menyumbat pembuluh darah vena tersebut. Dibuat isitonis, kalau terpaksa dapat sedikit hipertonis (disuntikkannya lambat / perlahan-lahan dan tidak mempengaruhi sel darah); volume antara 1 - 10 ml. Injeksi intravenus yang diberikan dalam dosis tunggal dengan volume lebih dari 10 ml, disebut  "infus intravena/ Infusi/Infundabilia". Infusi harus bebas pirogen dan tidak boleh mengandung bakterisida, jernih, isotonis.
Injeksi i.v dengan volume 15 ml atau lebih tidak boleh mengandung bakterisida.
Injeksi  i.v  dengan  volume  10  ml   atau  lebih  harus  bebas  pirogen.
5.         Injeksi intraarterium ( i.a )
Disuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri / perifer / tepi, volume antara 1 - 10 ml, tidak boleh mengandung bakterisida.
6.         Injeksi intrakor / intrakardial ( i.kd )
Disuntikkan langsung ke dalam otot jantung atau ventriculus, tidak boleh mengandung bakterisida, disuntikkan hanya dalam keadaan gawat.
7.      Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural ( i.d ), subaraknoid.
Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang pada dasar otak ( antara 3 -4 atau 5 - 6 lumbra vertebrata ) yang ada cairan cerebrospinalnya. Larutan harus isotonis karena sirkulasi cairan cerebrospinal adalah lambat, meskipun larutan anestetika sumsum tulang belakang sering hipertonis. Jaringan syaraf di daerah anatomi disini sangat peka.
8.         Intraartikulus
Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuk suspensi / larutan dalam air.
9.         Injeksi subkonjuntiva
Disuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah mata. Berupa suspensi / larutan, tidak lebih dari 1 ml.
10.     Injeksi intrabursa
Disuntikkan ke dalam bursa subcromillis atau bursa olecranon dalam bentuk larutan suspensi dalam air.
11.     Injeksi intraperitoneal ( i.p )
Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan cepat ; bahaya infeksi besar.
12.     Injeksi peridural ( p.d ), extradural, epidural
Disuntikkan ke dalam ruang epidural, terletak diatas durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan sumsum tulang belakang.

2.4    Susunan Isi ( Komponen ) Obat Suntik
1.      Bahan obat / zat berkhasiat
a.       Memenuhi syarat yang tercantum sesuai monografinya masing-masing dalam Farmakope.
b.      Pada etiketnya tercantum : p.i ( pro injection )
c.       Obat yang beretiket p.a ( pro analisa ) walaupun secara kimiawi terjamin kualitasnya, tetapi belum tentu memenuhi syarat untuk injeksi.
2.      Zat pembawa / zat pelarut
Dibedakan menjadi 2 bagian :
a.       Zat pembawa berair
Umumnya digunakan air untuk injeksi. Disamping itu dapat pula digunakan injeksi NaCl, injeksi glukosa, injeksi NaCl compositus, Sol.Petit. Menurut FI.ed.IV, zat pembawa mengandung air, menggunakan air untuk injeksi,sebagai zat pembawa injeksi harus memenuhi syarat Uji pirogen dan uji Endotoksin Bakteri. NaCl dapat ditambahkan untuk memperoleh isotonik. Kecuali dinyatakan lain, Injeksi NaCl atau injeksi Ringer dapat digunakan untuk pengganti air untuk injeksi.
Air untuk injeksi ( aqua pro injection ) dibuat dengan cara menyuling kembali air suling segar dengan alat kaca netral atau wadah logam yang dilengkapi dengan labu percik. Hasil sulingan pertama dibuang, sulingan selanjutnya ditampung dalam wadah yang cocok dan segera digunakan. Jika dimaksudkan sebagai pelarut serbuk untuk injeksi, harus disterilkan dengan cara Sterilisasi A atau C segera setelah diwadahkan.
Air untuk injeksi bebas udara dibuat dengan mendidihkan air untuk injeksi segar selama tidak kurang dari 10 menit sambil mencegah hubungan dengan udara sesempurna mungkin, didinginkan dan segera digunakan. Jika dimaksudkan sebagai pelarut serbuk untuk injeksi , harus disterilkan dengan cara sterilisasi A, segera setelah diwadahkan.
b.      Zat pembawa tidak berair
Umumnya digunakan minyak untuk injeksi (olea pro injection) misalnya Ol. Sesami, Ol. Olivarum, Ol. Arachidis.
Pembawa tidak berair diperlukan apabila :
(1)      Bahan obatnya sukar larut dalam air
(2)      Bahan obatnya tidak stabil / terurai dalam air.
(3)      Dikehendaki efek depo terapi.
Syarat-syarat minyak untuk injeksi adalah :
(1)      Harus jernih pada suhu 100 .
(2)      Tidak berbau asing / tengik
(3)      Bilangan asam 0,2 - 0,9
(4)      Bilangan iodium 79 - 128
(5)      Bilangan penyabunan 185 - 200
(6)      Harus bebas minyak mineral
(7)      Memenuhi syarat sebagai Olea Pinguia yaitu cairan jernih atau massa padat yang menjadi jernih diatas suhu leburnya dan tidak berbau asing atau tengik. Obat suntik dengan pembawa minyak, tidak boleh disuntikkan secara i.v , hanya boleh secara i.m.

3.      Bahan pembantu / zat tambahan
Ditambahkan pada pembuatan injeksi dengan maksud :
a)   Untuk mendapatkan pH yang optimal
b)   Untuk mendapatkan larutan yang isotonis
c)   Untuk mendapatkan larutan isoioni
d)   Sebagai zat bakterisida
e)   Sebagai pemati rasa setempat ( anestetika lokal )
f)   Sebagai stabilisator.
Menurut FI.ed.IV, bahan tambahan untuk mempertinggi stabilitas danefektivitas harus memenuhi syarat antara lain tidak berbahaya dalam jumlah yang digunakan, tidak mempengaruhi efek terapetik atau respon pada uji penetapan kadar.
Tidak boleh ditambahkan bahan pewarna, jika hanya mewarnai sediaan akhir. Pemilihan dan penggunaan bahan tambahan harus hati-hati untuk injeksi yang diberikan lebih dari 5 ml. Kecuali dinyatakan lain berlaku sebagai berikut :
1.         Zat yang mengandung raksa dan surfaktan kationik, tidak lebih dari 0,01%
2.         Golongan Klorbutanol, kreosol dan fenol  tidak lebih dari 0,5 %
3.         Belerang dioksida atau sejumlah setara dengan Kalium atau Natrium Sulfit, bisulfit atau metabisulfit ,  tidak lebih dari 0,2 %
Untuk mendapatkan pH yang optimal
pH optimal untuk darah atau cairan tubuh yang lain adalah 7,4 dan disebut Isohidri.
Karena tidak semua bahan obat stabil pada pH cairan tubuh, sering injeksi dibuat di luar pH cairan tubuh dan berdasarkan kestabilan bahan tersebut.
Pengaturan pH larutan injeksi diperlukan untuk :
1.    Menjamin stabilitas obat, misalnya perubahan warna, efek terapi optimal obat, menghindari kemungkinan terjadinya reaksi dari obat.
2.    Mencegah terjadinya rangsangan / rasa sakit waktu disuntikkan.
Jika pH terlalu tinggi (lebih dari 9) dapat menyebabkan nekrosis jaringan (jaringan menjadi mati), sedangkan pH yang terlalu rendah (di bawah 3) menyebabkan rasa sakit jika disuntikkan. misalnya beberapa obat yang stabil dalam lingkungan asam : Adrenalin HCl, Vit.C, Vit.B1 .
pH dapat diatur dengan cara :
1.           Penambahan zat tunggal , misalnya asam untuk alkaloida, basa untuk golongan sulfa.
2.           Penambahan larutan dapar, misalnya dapar fosfat untuk injeksi, dapar borat untuk obat tetes mata.
Yang perlu diperhatikan pada penambahan dapar adalah :
1.           Kecuali darah, cairan tubuh lainnya tidak mempunyai kapasitas dapar.
2.           Pada umumnya larutan dapar menyebabkan larutan injeksi menjadi hipertonis.
3.           Bahan obat akan diabsorpsi bila kapasitas dapar sudah hilang, maka sebaiknya obat didapar pada pH yang tidak jauh dari isohidri. Jika kestabilan obat pada pH yang jauh dari pH isohidri, sebaiknya obat tidak usah didapar, karena perlu waktu lama untuk meniadakan kapasitas dapar.
Untuk mendapatkan larutan yang isotonis
Larutan obat suntik dikatakan isotonis jika :
1.             Mempunyai tekanan osmotis sama dengan tekanan osmotis cairan tubuh ( darah, cairan lumbal, air mata ) yang nilainya sama dengan tekanan osmotis larutan NaCl 0,9 % b/v.
2.             Mempunyai titik beku sama dengan titik beku cairan tubuh, yaitu - 0,520C.
Jika larutan injeksi mempunyai tekanan osmotis lebih besar dari larutan NaCl 0,9 % b/v, disebut " hipertonis ", jika lebih kecil dari larutan NaCl   0,9 % b/v disebut " hipotonis " .
Jika larutan injeksi yang hipertonis disuntikkan, air dalam sel akan ditarik keluar dari sel , sehingga sel akan mengkerut, tetapi keadaan ini bersifat sementara dan tidak akan menyebabkan rusaknya sel tersebut.
Jika larutan injeksi yang hipotonis disuntikkan, air dari larutan injeksi akan diserap dan masuk ke dalam sel, akibatnya dia akan mengembang dan menyebabkan pecahnya sel itu dan keadaan ini  bersifat tetap. Jika yang pecah itu sel darah merah, disebut " Haemolisa ". Pecahnya sel ini akan dibawa aliran darah dan dapat menyumbat pembuluh darah yang kecil.
Jadi sebaiknya larutan injeksi harus isotonis, kalau terpaksa dapat sedikit hipertonis, tetapi jangan sampai hipotonis.
Cairan tubuh kita masih dapat menahan tekanan osmotis larutan injeksi yang sama nilainya dengan larutan NaCl 0,6 - 2,0 % b/v.
Larutan injeksi dibuat isotonis terutama pada penyuntikan :
1.    Subkutan : jika tidak isotonis dapat menimbulkan rasa sakit, sel-sel sekitar penyuntikan dapat rusak, penyerapan bahan obat tidak dapat lancar.
2.    Intralumbal , jika terjadi perubahan tekanan osmotis pada cairan lumbal, dapat menimbulkan perangsangan pada selaput otak.
3.    Intravenus, terutama pada Infus intravena, dapat menimbulkan haemolisa.
Untuk mendapatkan Isoioni
Yang dimaksud isoioni adalah larutan injeksi tersebut mengandung ion-ion yang sama dengan ion-ion yang terdapat dalam darah, yaitu : K+ , Na+ , Mg++ , Ca++ , Cl-. Isoioni diperlukan pada penyuntikan dalam jumlah besar, misalnya pada infus intravena.
Sebagai zat bakterisida / bakteriostatik
Zat bakterisida perlu ditambahkan jika  :
1.    Bahan obat tidak disterilkan, larutan injeksi dibuat secara aseptik.
2.    Bila larutan injeksi disterilkan dengan cara penyaringan melalui penyaring bakteri steril.
3.    Bila larutan injeksi disterilkan dengan cara pemanasan pada suhu 980 – 1000selama 30 menit.
4.    Bila larutan injeksi diberikan dalam wadah takaran berganda.
Zat bakterisida tidak perlu ditambahkan jika  :
1.    sekali penyuntikan melebihi 15 ml.
2.    Bila larutan injeksi tersebut sudah cukup daya bakteriostatikanya ( tetes mata Atropin Sulfat dalam pembawa asam borat, tak perlu ditambah bakterisida, karena asam borat dapat berfungsi pula sebagai antiseptik ).
3.    Pada penyuntikan : intralumbal, intratekal, peridural, intrasisternal, intraarterium dan intrakor.
Sebagai zat pemati rasa setempat / anestetika local
Digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada tempat dilakukan penyuntikan , yang disebabkan larutan injeksi tersebut terlalu asam.  Misalnya Procain dalam injeksi Penicillin dalam minyak, Novocain dalam injeksi Vit. B-compleks, Benzilalkohol dalam injeksi Luminal-Na.
Sebagai Stabilisator
Digunakan untuk menjaga stabilitas larutan injeksi dalam penyimpanan. Stabilisator digunakan untuk:
(1)     Mencegah terjadinya oksidasi oleh udara, dengan cara :
(a)    Mengganti udara di atas larutan injeksi dengan gas inert, misalnya gas N2atau gas CO2.
(b)     Menambah antioksidant untuk larutan injeksi yang tidak tahan terhadap O2dari udara. Contohnya : penambahan Na-metabisulfit/Na-pirosulfit 0,1 % b/v pada larutan injeksi Vit.C, Adrenalin dan Apomorfin.
(2)    Mencegah terjadinya endapan alkaloid oleh sifat alkalis dari gelas. Untuk ini dapat dengan menambah chelating agent EDTA ( Etilen Diamin Tetra Asetat ) untuk mengikat ion logam yang lepas dari gelas/wadah kaca atau menambah HCl sehingga bersuasana asam.
(3)    Mencegah terjadinya perubahan pH dengan menambah larutan dapar.
(4)    Menambah/menaikkan kelarutan bahan obat, misalnya injeksi Luminal dalam Sol.Petit, penambahan Etilendiamin pada injeksi Thiophyllin.
Wadah dan tutup
Dibedakan : wadah untuk injeksi dari kaca atau plastik.
Dapat juga dibedakan lagi menjadi :
·                Wadah dosis tunggal ( single dose ), wadah untuk sekali pakai misalnya ampul.
·                Ditutup dengan cara melebur ujungnya dengan api sehingga tertutup kedap tanpa penutup karet.
·                Wadah dosis ganda ( multiple dose ), wadah untuk beberapa kali penyuntikan, umumnya ditutup dengan karet dan alumunium,  misalnya vial ( flakon ) , botol.
·                Wadah kaca
Syarat wadah kaca :
1.    Tidak boleh bereaksi dengan bahan obat
2.    Tidak boleh mempengaruhi khasiat obat.
3.    Tidak boleh memberikan zarah / partikel kecil ke dalam larutan injeksi.
4.    Harus dapat memungkinkan pemeriksaan isinya dengan mudah.
5.    Dapat ditutup kedap dengan cara yang cocok.
6.    Harus memenuhi syarat " Uji Wadah kaca untuk injeksi "
·           Wadah plastic
Wadah dari plastik ( polietilen, polipropilen ) .
Keuntungan : netral secara kimiawi, tidak mudah pecah dan tidak terlalu berat hingga mudah diangkut, tidak diperlukan penutup karet.
Kerugian : dapat ditembus uap air hingga kalau disimpan akan kehilangan air, juga dapat ditembus gas CO2.
Wadah plastik disterilkan dengan cara sterilisasi gas dengan gas etilen oksida.
·           Tutup karet
Digunakan pada wadah dosis ganda yang terbuat dari gelas/kaca. Tutup karet dibuat dari karet sintetis atau bahan lain yang cocok. Untuk injeksi minyak , tutup harus dibuat dari bahan yang tahan minyak atau dilapisi bahan pelindung yang cocok.
Syarat tutup karet yang baik adalah bila direbus dalam otoklaf, maka :
·      Karet tidak lengket / lekat, dan jika ditusuk dengan jarum suntik, tidak melepaskan pecahannya serta segera tertutup kembali setelah jarum suntik dicabut.
·      Setelah dingin tidak boleh keruh.
·      Uapnya tidak menghitamkan kertas timbal asetat ( Pb-asetat ).
Cara mencuci :
mula-mula dicuci dengan detergen yang cocok, jangan memakai sabun Calsium/Magnesium karena ion-ion itu akan mengendap pada dinding kaca. Bilas dengan air dan rebus beberapa kali pendidihan, tiap kali pendidihan, air diganti.
Cara sterilisasi :
masukkan tutup karet ke dalam labu berisi larutan bakterisida, tutup, sterilkan dengan cara sterilisasi A, biarkan selama tidak kurang dari 7 hari. Bakterisida yang digunakan harus sama dengan bakterisida yang digunakan dalam obat suntiknya dengan kadar 2 kalinya dengan volume untuk tiap 1 gram karet dibutuhkan 2 ml.
Tutup karet yang mengandung Na-pirosulfit, sebelum dipakai harus direndam dalam larutan bakterisida yang mengandung Na-pirosulfit 0,1 % selama tidak kurang dari 48 jam.

4.    Cara Pembuatan Obat Suntik.
Persiapan pembuatan obat suntik :
a.       Perencanaan
Direncanakan dulu, apakah obat suntik itu akan dibuat secara aseptik atau dilakukan sterilisasi akhir ( nasteril  ).
Pada pembuatan kecil-kecilan alat yang digunakan antara lain pinset, spatel, pengaduk kaca, kaca arloji yang disterilkan dengan cara dibakar pada api spiritus.
Ampul, Vial atau flakon beserta tutup karet, gelas piala, erlemeyer, corong yang dapat disterilkan dalam oven 1500 selama 30 menit ( kecuali tutup karet, didihkan selama 30 menit dalam air suling atau menurut FI.ed.III )
Kertas saring, kertas G3, gelas ukur disterilkan dalam otoklaf. Untuk pembuatan besar-besaran di pabrik, faktor tenaga manusia juga harus direncanakan.
b.      Perhitungan dan penimbangan
Perhitungan dibuat berlebih dari jumlah yang harus didapat, karena dilakukan penyaringan, kemudian ditimbang. Larutkan masing-masing dalam Aqua p.i  yang sudah dijelaskan cara pembuatannya, kemudian dicampurkan.
c.       Penyaringan
Lakukan penyaringan hingga jernih dan tidak boleh ada serat yang terbawa ke dalam filtrat. Pada pembuatan kecil-kecilan dapat disaring dengan kertas saring biasa sebanyak 2 kali , lalu disaring lagi dengan kertas saring G3.
d.      Pengisian ke dalam wadah
Cairan :
Farmakope telah mengatur volume tambahan yang dianjurkan.
Bubuk kering :
jumlah bubuk diukur dengan jalan penimbangan atau berdasarkan volume, diisi melalui corong.
Pengisian dengan wadah takaran tunggal dijaga supaya bagian yang akan ditutup dengan pemijaran, harus bersih, terutama dari zat organik, karena pada penutupan zat organik  tersebut akan menjadi arang dan menghitamkan wadah sekitar ujungnya.
Membersihkan bagian leher wadah dapat dilakukan dengan :
·      Memberi pelindung pada jarum yang dipakai untuk mengisi wadah.
·      Menyemprot dengan uap air pada mulut wadah obat suntik yang dibuat dengan pembawa berai.
e.       Penutupan Wadah
Wadah dosis tunggal  : ditutup dengan cara melebur ujungnya dengan api hingga tertutup kedap.
Wadah dosis ganda  : ditutup dengan karet melalui proses pengurangan tekanan hingga karet tertarik ke dalam. Tutup karet dilapisi dengan tutup alumunium.
f.       Penyeterilan ( Sterilisasi )
Sterilisasi menurut Fi.ed.III dan IV.dapat dilakukan sesuai dengan persyaratan masing-masing monografinya dan sifat dari larutan obat suntiknya.
g.      Uji sterilitas pada teknik aseptic
Sediaan steril selalu dilakukan Uji Sterilitas sebelum sediaan itu diedarkan ke pasaran.
Uji Sterilitas dapat dilakukan sebagai berikut : ke dalam salah satu wadah dimasukkan medium biakan bakteri sebagai ganti cairan steril. Tutup wadah dan eramkan pada suhu 320 selama 7 hari. Jika terjadi pertumbuhan kuman, menunjukkan adanya cemaran yang terjadi pada waktu pengisian bahan steril ke dalam wadah akhir yang steril.


Pembuatan larutan injeksi :
Dalam garis besar cara pembuatan larutan injeksi dibedakan :
1.         Cara aseptic
2.         Cara non-aseptik ( Nasteril )
1.      Cara aseptic : Digunakan kalau bahan obatnya tidak dapat disterilkan, karena akan rusak atau mengurai.
Caranya : Zat pembawa, zat pembantu, wadah, alat-alat dari gelas untuk pembuatan, dan yang lainnya yang diperlukan disterilkan sendiri-sendiri. Kemudian bahan obat, zat pembawa, zat pembantu dicampur secara aseptik dalam ruang aseptik hingga terbentuk larutan injeksi dan dikemas secara aseptik.
Skema pembuatan secara aseptik :
Bahan obat

Zat pembawa   ( steril )

Zat pembantu ( steril )
Alat untuk pembuatan
( gelas )


Dicuci
disterilkan
Dilarutkan          ( ruang steril )
wadah ( ampul, vial )



Dicuci
disterilkan
Diisi




Ditutup kedap




Dikarantina
Diberi etiket dan dikemas


Diperiksa






2.      Cara non-aseptik ( NASTERIL ).
Dilakukan sterilisasi akhir.
Caranya : bahan obat dan zat pembantu dilarutkan ke dalam zat pembawa dan dibuat larutan injeksi. Saring hingga jernih dan tidak boleh ada serat yang terbawa ke dalam filtrat larutan. Masukkan ke dalam wadah dalam keadaan bersih dan sedapat mungkin aseptik, setelah dikemas, hasilnya disterilkan dengan cara yang cocok.
Skema pembuatan secara non-aseptik :
Bahan obat

Zat pembawa  

Zat pembantu
Alat untuk pembuatan
( gelas )


Dicuci



Dilarutkan          ( ruang steril )
wadah ( ampul, vial )



Disaring
Dicuci



Diisi




Ditutup kedap
Disterilkan




Dikarantina
Diberi etiket dan dikemas


Diperiksa





 

3.        Syarat - Syarat Obat Suntik

Syarat berikut hanya berlaku bagi injeksi berair :
1.         Harus aman dipakai, tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan atau efek toksis. Pelarut dan bahan penolong harus dicoba pada hewan dulu, untuk meyakinkan keamanan pemakaian bagi manusia.
2.         Jika berupa larutan harus jernih, bebas dari partikel-partikel padat, kecuali yang berbentuk suspensi.
3.         Sedapat mungkin lsohidris, yaitu mempunyai pH = 7,4, agar tidak terasa sakit dan penyerapannya optimal.
4.         Sedapat mungkin Isotonik, yaitu mempunyai tekanan osmose sama dengan tekanan osmose darah / cairan tubuh, agar tidak terasa sakit dan tidak menimbulkan haemolisa. Jika terpaksa dapat dibuat sedikit hipertonis, tetapi jangan hipotonis.
5.         Harus steril, yaitu bebas dari mikroba hidup, baik yang patogen maupun yang apatogen, baik dalam bentuk vegetatif maupun spora.
6.         Bebas pirogen, untuk larutan injeksi yang mempunyai volume 10 ml atau lebih sekali penyuntikan.
7.         Tidak boleh berwarna kecuali memang zat berkhasiatnya berwarna.
4.        Penandaan menurut FI.ed.IV
Larutan intravena volume besar adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan dikemas dalam wadah bertanda volume lebih dari 100 ml.
Injeksi volume kecil adalah injeksi yang dikemas dalam wadah bertanda volume 100 ml atau kurang.
Penandaan : Pada etiket tertera nama sediaan, untuk sediaan cair terterapersentase atau jumlah zat aktif dalam volume tertentu, untuk sediaan kering tertera jumlah zat aktif, cara pemberian, kondisi penyimpanan dan tanggal kadaluwarsa, nama pabrik pembuat dan atau pengimpor serta nomor lot ataunomor bets yang menunjukkan identitasnya. Wadah injeksi yang akan digunakan untuk dialisis, hemofiltrasi atau cairan irigasi dan volume lebih dari 1 liter, diberi penandaan bahwa sediaan tidak digunakan untuk infus intravena., untuk injeksi yang mengandung antibiotik : juga harus tertera  kesetaraan bobot terhadap U.I dan tanggal kadaluwarsanya. Injeksi untuk hewan ditandai untuk menyatakankhasiatnya.
Pengemasan; Sediaan untuk pemberian intraspinal, intrasisternal atau pemakaian peridural dikemas hanya dalam wadah dosis tunggal.
5.        Keuntungan dan Kerugian  Bentuk  Sediaan Injeksi
Keuntungan :
a.       Bekerja cepat , misalnya pada injeksi Adrenalin pada schock anfilaksis.
b.       Dapat digunakan jika : obat rusak jika kena cairan lambung, merangsang jika ke cairan lambung, tidak diabsorpsi secara baik oleh cairan lambung.
c.       Kemurnian dan takaran zat khasiat lebih terjamin.
d.      Dapat digunakan sebagai depo terapi
e.       Dapat dicapai efek fisiologis segera, untuk kondisi penyakit tertentu (jantung berhenti)
f.       Dapat diberikan untuk sediaan yang tidak efektif diberikan secara oral atau obat yang dirusak oleh sekresi asam lambung
g.      Baik untuk penderita yang tidak memungkinkan mengkonsumsi oral (sakit jiwa atau tidak sadar)
h.      Pemberian parenteral memberikan kemungkinan bagi dokter untuk mengontrol obat, karena pasien harus kembali melakukan pengobatan
i.        Sediaan parenteral dapat menimbulkan efek lokal seperti pada kedokteran gigi/anastesiologi
j.        Pengobatan parenteral merupakan salah satu cara untuk mengoreksi gangguan serius cairan dan keseimbangan elektrolit
Kerugian :
a.       Karena bekerja cepat, jika terjadi kekeliruan sukar dilakukan pencegahan.
b.      Cara pemberian lebih sukar, harus memakai tenaga khusus.
c.       Kemungkinan terjadinya infeksi pada bekas suntikan.
d.      Secara ekonomis lebih mahal dibanding dengan sediaan yang digunakan per oral.
e.       Pemberian sediaan parenteral harus dilakukan oleh personel yang terlatih dan membutuhkan waktu pemberian yang lebih lama
f.       Pemberian obat secara parenteral sangat berkaitan dengan ketentuan prosedur aseptik dengan rasa nyeri pada lokasi penyuntikan yang tidak selalu dapat dihindari
g.      Bila obat telah diberikan secara parenteral, sukar sekali untuk menghilangkan/merubah efek fisiologisnya karena obat telah berada dalam sirkulasi sistemik
h.      Harganya relatif lebih mahal, karena persyaratan manufaktur dan pengemasan
i.        Masalah lain dapat timbul pada pemberian obat secara parenteral seperti septisema, infeksi jamur, inkompatibilias karena pencampuran sediaan parenteral dan interaksi obat
Persyaratan sediaan parenteral tentang sterilitas, bebas dari partikulat, bebas dari pirogen, dan stabilitas sediaan parenteral harus disadari oleh semua personel yang terlibat.
6.        Tujuan Pemberian Sediaan Parenteral
1.    Untuk memastikan obat sampai ke bagian tubuh atau jaringan yang membutuhkan dengan konsentrasi yang mencukupi.
2.    Untuk mencapai parameter farmakologi tertentu yang terkontrol, seperti waktu onset,serum peak, kecepatan eliminasi obat dari dalam tubuh.
3.    Untuk pasien yang tidak bisa melakukan self medicate
4.    Untuk mendapatkan efek biologik yang tidak didapatkan melalui pemakaian oral
5.    Untuk alternatif bila rute yang diharapkan (oral) tidak tersedia
6.    Untuk mendapatkan efek lokal, untuk meminimalkan efek toksik sistemik
7.    Untuk pasien yang tidak sadar, tidak kooperatif, tidak terkontrol
8.    Untuk pengobatan ketidakseimbangan elektrolit dan cairan untuk supply nutrisi jangka panjang/pendek
9.    Untuk mendapatkan efek lokal yang diharapkan
7.        Rute Pemberian Sediaan Injeksi
1.         Injeksi intrakutan atau intradermal (ic): volume yang disuntikkan sedikit (0,1 – 0,2 mL). Biasanya digunakan untuk tujuan diagnosa, misalnya detekdi alergi terhadap suatu zat/obat.
2.         Injeksi subkutan (sc) atau hipoderma: disuntikkan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam alveola. Larutan sedapat mungkin isotonis, sedang pH sebaiknya netral, tujuannya untuk mengurangi iritasi jaringan dan mencegah kemungkinan terjadinya nekrosis (mengendornya kulit). Jumlah larutan yang disuntikkan tidak lebih dari 1 mL.
3.         Injeksi intramuskular (im): disuntikkan ke dalam otot daging dan volume sedapat mungkin tidak lebih dari 4 mL. Penyuntikan volume besar dilakukan perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit.
4.         Injeksi intravena (iv): mengandung cairan yang tidak menimbulkan iritasi dan dapat bercampur dengan air, volume pemberian 1-10 mL. Larutan biasanya isotonis atau hipertonis. Jika hipertonis maka harus diberikan perlahan-lahan. Jika dosis tunggal dan diberikan lebih dari 15 mL, tidak boleh mengandung bakterisida, dan  jika lebih dari 10 mL harus bebas pirogen. Pemberian lebih dari 10 mL umumnya disebut infus, larutan diusahakan isotonis dan diberikan dengan kecepatan 50 tetes/menit dan lebih baik pada suhu badan.
5.         Injeksi intraarterium (ia): mengandung cairan non iritan yang dapat bercampur dengan air, volume yang disuntikkan 1-10 mL dan digunakan bila diperlukan efek obat yang segera dalam daerah perifer. Tidak boleh mengandung bakterisida.
6.         Injeksi intrakardial (ikd): berupa larutan, hanya digunakan untuk keadaan gawat, disuntikkan ke dalam otot jantung atau ventrikulus. Tidak boleh mengandung bakterisida.
7.         Injeksi intratekal (it), intraspinal, intradural: disuntikkan ke dalam saluran sum-sum tulang belakang (antara 3-4 atau 5-6 lumba vertebra) yang berisi cairan cerebrospinal. Berupa larutan, harus isotonis, harus benar-benar steril, bersih sebab jaringan syaraf di daerah ini sangat peka.
8.         Injeksi intratikulus: disuntikkan ke dalam cairan sendi dalam rongga sendi.
9.         Injeksi subkonjungtiva: disuntikkan pada selaput lendir mata bawah, umumnya tidak lebih dari 1 mL
10.     Injeksi yang lain: (a) intraperitoneal (ip): disuntikkan langsung ke dalam rongga perut; (b) peridural (pd), ekstra dural: disuntikkan ke dalam ruang epidura, terletak di atas durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan sum-sum tulang belakang; (c) intrasisernal (is): disuntikkan pada saluran sum-sum tulang belakang pada otak.

8.        Bentuk-bentuk Sedian Injeksi
1.         Larutan air: merupakan bentuk yang paling sederhana dan banyak digunakan. Bentuk larutan air dapat digunakan untuk semua rute pemberian.
2.         Suspensi air: biasanya diberikan dalam rute intramuscular(im) dan subkutan (sc). Suspensi tidak pernah diberikan secara intravena (iv), intraarteri, inraspinal, inrakardiak, atau injeksi optalmik. Ukuran partikel suspensi biasanya kecil dan distribusi ukuran partikel harus dikontrol untuk meyakinkan partikel dapat melewati jarum suntik saat pemberian. Ukuran partikel tidak boleh membesar dan tidak boleh terjadi caking saat penyimpanan.
3.         Larutan kering: untuk sediaan yang larut dalam air, tetapi tidak stabil di air.
4.         Larutan minyak: dibuat bila zat aktif tidak larut air tetapi larut dalam minyak dan diberikan melalui im. Larutan minyak menimbulkan efek depo, untuk masalah iritasi dan sensitisasi, suspensi air lebih dipilih dibanding larutan minya.
5.         Suspensi minyak: injeksi suspensi bisa juga dibuat dalam pembawa minyak, meskipun pembuatannya lebih jarang dibanding suspensi air. Suspensi minyak dapat menimbulkan efek depot/lepas lambat pada rute pemberian im.
6.         Injeksi minyak: senyawa yang bersifat lipofilik banyak yang dibuat dalam bentuk injeksi minyak. Sediaan ini secara umum digunakan dengan rute im, dan pada keadaan normal tidak digunakan untuk rute lain.
7.         Emulsi: zat yang bersifat lipofilik juga dapat dibuat dalam bentuk emulsi o/w. Zat dapat dilarutkan dalam larutan minyak atau zatnya sendiri sudah benbentuk minyak. Droplet minyak harus dikontrol dengan hati-hati dan pada saat penyimpanan agar emulsi tidak  pecah. Ukuran droplet ideal 3 μm. Biasanya dalam bentuk nutrisi parenteral.
8.         Larutan koloidal: biasanya diberikan melalui rute im.
9.         Sistem pelarut campur: banyak kondisi klinik sangat diperlukan suatu zat dibuat dalam bentuk larutan sejati, agar siap bercampur dengan larutan iv ketika diberikan. Untuk zat yang sukar larut dalam air, maka selain digunakan dalam bentuk garam atau diformulasi dalam pH tinggi atau rendah, beberapa zat dapat pula diformulasi dalam pelarut campur. Kosolvent digunakan untuk menurunkan polaritas pembawa sehingga zat lebih larut. Pemberian biasanya mengiritasi, toksik dan menimbulkan rasa nyeri. Pemberian intravena perlu dilakukan perlahan untuk mencegah presipitasi zat aktif. Pemilihan kosolvent terbatas oleh toksitas.
10.     Larutan terkonsentrasi: berupa konsentrat dan diberikan dengan dilarutkan dahulu di dalam larutan iv.
11.     Serbuk untuk injeksi: beberapa zat yang tidak stabil dalam air, sehingga dibuat dalam bentuk serbuk untuk injeksi. Sediaan ini bisa berupa serbuk ‘dry filled’ atau serbuk liofilisasi (‘freeze dried’).
12.     Implant: biasanya berupa hormon dan diberikan dengan maksud pemberian lambat, ditunda atau dikontrol, dimana pemberian tidak dapat dilakukan via oral.
2.5    Larutan Mata
Larutan obat mata adalah larutan steril, bebas partikel asing, merupakan sediaan yang dibuat dan dikemas sedemikian rupa sehingga sesuai digunakan pada mata. Pembuatan larutan obat mata membutuhkan perhatian khusus dalam hal toksisitas obat, nilai isotonositas, kebutuhan akan dapar, kebutuhan akan pengawet dan jika perlu pemilihan pengawet dan kemasan yang tepat.
Larutan cuci mata atau yang lebih dikenal sebagai kolorium adalah larutan steril yang jernih, bebas partikel asing yang dipakai untuk membersihkan mata.  Dapat ditambahkan zat dapar dan pengawet. Kolorium dibuat dengan melarutkan obat dalam air, disaring hingga jernih, dimasukan dalam wadah tertutup dan disterilkan. Alat dan wadah yang digunakan harus bersih dan steril.
Beberapa obat larutan cuci mata perlu hipertonik untuk meningkatkan daya serap dan meningkatkan kadar bahan aktif yang cukup tinggi untuk menghasilkan efek obat yang cepat dan efektik. Apabila larutan obat seperti ini digunakan dalam jumlah kecil, maka pengenceran dengan air mata cepat terjadi sehingga rasa perih akibat hipertonisitas hanya sementara. Tetapi penyesuaian isotonisitas oleh pengenceran dengan air mata tidak berarti jika digunakan larutan hipertonik dalam jumlah besar. Jadi yang penting adalah larutan obat mata untuk keperluan ini harus mendekati isotonik.

2.6    Penggolongan obat mata berdasarkan farmakologi
1.         Obat mata sebagai anti-infektif dan antiseptic
Contohnya : Albucetine eye drop 5 ml, 10 ml, 15 ml, dan oint 3,5 g
2.         Obat mata mengandung corticosteroid
Contohnya : Celestone eye drop 5 ml
3.         Obat mata sebagai antiseptik dengam corticosteroid
Contohnya : Cendo Xitrol 5 ml dan 10 ml
4.         Obat mata mempunyai efek midriatik
Contohnya : Cendo Tropine 5 ml, 10 ml dan 15 ml
5.         Obat mata mempunyai efek miotik
Contohnya : Cendo Carpine 5 ml, 10 ml dan 15 ml
6.         Obat mata mempunyai efek glaucoma
Contohnya : Isotic Adretor 5 ml
7.         Obat mata mempunyai efek lain
Contohnya : Catarlent eye drop 15 ml
2.7    Macam-macam Larutan Mata
1.      Collyrium
Adalah sediaan berupa larutan steril, jernih, bebas zat asing, isotonus, digunakan untuk membersihkan mata.
2.      Guttae Opthalmicae
Obat tetes mata (guttae ophthalmicae) adalah sediaan steril berupa larutan atau suspensi, digunakan untuk mata, dengan cara meneteskan obat pada selaput lendir mata, disekitar kelopak mata dan bola mata. Dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, diteteskan dengan menggunakan penetes yang menghasikan penetes setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku dalam Farmakope Indonesia.
Obat tetes mata sering digunakan pada mata, maka obatnya harus stabil secara kimia, harus mempunyai aktivitas terapi yang optimal, hatus todak mengiritasi dan tidak menimbulkan rasa sakit pada mata, harus jernih, harus bebas mikroorganisme yang hidup dan tetap demikian selama penyimpan yang diperlukan.
Jadi pada prinsipnya obat tetes mata harus :
·         steril
·         jernih
·         bebas partikel asing
·         sedapat mungkin isotonis
·         sedapat mungkin isohidris
Sterilitas dan Pengawet
Semua larutan untuk mata harus dibuat steril dan bila mungkin ditambahkan bahan pengawet yang cocok untuk menjamin sterilitas selama pemakaian. Larutan untuk mata yang digunakan selama operasi atau pada mata yang trauma, umumnya tidak mengandung bahan pengawet, karena hal ini akan menyebabkan iritasi pada jaringan didalam mata. Pengawet yang ditambahkan untuk larutan mata misalnya : Benzalkonium klorida 0,013%, Benzetonium klorida 0,01%, klorobutanol 0,5%, Fenil Merkuri Asetat 0,004%, Timerosal 0,01%. Bahan pengawet ini mempunyai syarat-syarat : stabil dengan obatnya, tersatukan secara kimia dengan bahan lain dengan formulasi dan mempunyai aktivitas antibakteri.

Isotonis
Larutan obat dikatakan isotonis apabila mempunyai tekanan osmosis sama dengan cairan tubuh. Cairan tubuh termasuk darah dan cairan mata mempunyai tekanan osmosis yang sebanding dengan larutan Natrium Klorida dalam air 0,9%. Dalam prakteknya batas isotonitas suatu larutan mata berupa Natrium Klorida atau ekuivalensinya dapat berkisar antara 0,6-2,0 tanpa rasa tidak nyaman pada mata.

Dapar
Dapar mungkin digunakan dalam larutan mata karena : untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien, untuk menjamin kestabilan obat, dan untuk mengawasi aktivitas terapeutik untuk bahan obat pH mata normal 7,4. Larutan dapar yang sering digunakan dalam larutan mata adalah dapar asam borat dan dapar pospat.

Viskositas dan Zat Pengental
Pada pembuatan larutan mata, zat pengental seringkali ditambahkan untuk menaikan viskositas untuk membantu menahan obat pada jaringan sehingga menambah efektivitas terapinya. Viskositas larutan obat mata dipandang optimal jika berkisar antara 15-25 centipoise. Zat pengental yang ditambahkan misalnya: metilselulosa, hidroksipropilmetilselulosa dan polivinil alcohol.


3.      Oculentum
Oculentum atau salep mata adalah salep steril yang digunakan pada mata.

Keuntungan obat tetes mata :
1.       Larutan mata memiliki kelebihan dalam hal homogeny, bioavailabilitas, dan kemudahan penanganan.
2.       Suspense mata memiliki kelebihan dimana adanya partikel zat aktif dapat memperpanjang waktu tinggal pada mata sehingga meningkatkan waktu terdisolusinya oleh air mata, sehingga terjadi peningkatan bioavailabilitas dan efek terapinya.
3.      Tidak menganggu penglihatan ketika digunakan
Kerugian obat tetes mata :
1.      Kerugian yang prinsipil dari larutan mata adalah waktu kontak yang relatif singkat antara obat dan permukaan yang terabsorsi.
















BAB III
PENUTUP


3.1    Kesimpulan
1.      Larutan Injeksi
Memasukan obat tertentu ke dalam jaringan tubuh dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir atau menembus suatu atau lebih lapisan kulit atau membran mukosa menggunakan alat suntik. ( depkes RI 1994 )
Obat dimasukan ke dalam kulit, dibawah kulit, kedalam otot dan ke dalam vena dan pemberian ini lebih cepat diserap daripada melalui oral. ( WHO 1998 )
Jadi pemberian obat perenteral adalah pemberian obat atau cairan dengan cara dimasukan langsung kedalam kulit, dibawah kulit, kedalam otot ataupun ke dalam vena.
2.      Larutan Mata
obat tetes mata haruslah :
a.    steril
b.    bebas dari partikel tersuspensi kecuali bentuk suspense
c.    sedapat ungkin isotonis dan isohidris
d.   Dibufer
e.    Dalam  wadah kecil, praktis dan steril
f.     Mengandung zat bakteriostatik untuk menjaga sterilitas dan stabilitas
Formulasi suspense obat mata dapat dibuat jika diperlukan untuk membuat produk yang bertujuan mengingkatkan waktu kontak kornea, atau diperlukan untuk obat tidak larut atau tidak stabil dalam pembawa air.


3.2    Saran
1.      Larutan Injeksi
Sebelum memberikan Larutan injeksi sebaiknya pengguna mengetahui cara pemakaiannya dan dalam keadaan steril.
2.      Larutan Mata
Sebelum memberikan larutan atau suspense oftalmik sebaiknya pengguna mencuci tangan sampai bersih. Selama penanganan dan pemberian obat atau, harus berhati-hati agar penetes tidak berkontak dengan mata, kelopak mata, atau permukaan lain.























DAFTAR PUSTAKA

1.        Ditjen POM, (1979), Farmakope Indonesia, Edisi III, Depkes RI, Jakarta.
2.        Ditjen POM, (1995), Farmakope Indonesia, Edisi IV, Depkes RI, Jakarta.
3.        Parrot, L.E., (1971), Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics, Burgess Publishing Co, USA.
4.        Jenkins, G.L., (1969), Scoville’s:The Art of Compounding, Burgess Publishing Co, USA.
5.        Sprowl, J.B., (1970), Prescription Pharmacy, 2nd Edition, JB Lipicant Co, USA.
6.        Gennaro, A.R., (1998), Remington’s Pharmaceutical Science, 18th Edition, Marck Publishing Co, Easton.
7.        Tjay, T.H., (2000), Obat-obat Penting, Edisi V, Depkes RI, Jakarta.
8.        Ganiswara, S.B., (1995), Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta.
9.        Kibbe,A.H., (1994), Handbook of Pharmaceutical Excipient, The Pharmaceutical Press, London.
10.    Lachman, L, et all, (1986), The Theory and Practise of Industrial Pharmacy, Third Edition, Lea and Febiger, Philadelphia.
11.    King,R.E., (1984), Dispensing of Medication, Ninth Edition, Marck Publishing Company, Philadelphia.
12.    Turco, S.,dkk., (1970), Sterile Dosage Forms, Lea and Febiger, Philadelphia.
13.    Parfitt,K., (1994), Martindale The Complete Drug Reference, 32nd Edition, Pharmacy Press.
14.    Gilman,G.A., (     ), Goodman and Gilman’s The Pharmaceutical Basis of Therapeutics, Pergamen Press.
15.    AMA Drug Evaluation, (1995), Drug Evaluation Annual, 1995, American Medical Association, America.
16.    Katzung, (2001), Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar